“Sekandal Cinta Terlarang Eksekutif dan Legislatif Dalam Phatologi Birokrasi”

Oleh Dedek Kusnadi, M.Si. MM. Akademisi Pascasarjana UIN STS Jambi dan Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Bagian Pertama

Institusi politik dan birokrasi merupakan institusi yang berbeda karakternya. Perbedaan kedua institusi ini telah dikemukakan oleh Wilson (1887-1941) dan Goodnow (1990), dimana politik ada dalam ranah kebijakan (policy) dan birokrasi di ranah administrasi (administrasion).

Perbedaan kedua institusi ini akan melahirkan pola relasi yang dinamis saat politik dan birokrasi sama-sama menjalankan proses penyusunan aturan-aturan seperti UU, Perda dan sebagainya.

Ketika relasi politik dan birokrasi tidak berkembang kearah sinergitas untuk keberhasilan pembagunan  daerah, maka dapat disimpulkan bahwa kedua institusi tersebut cenderung dipertanyakan kemampuannya untuk melaksanakan pembangunan daerah. Eksekutuf sebagai pejabat pembina birokrasi di daerah justru memanfaatkan birokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan politik legislatif.

Padahal, seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan–aturan yang berlaku.

Misalnya, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya

digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk, memanjakan anggota legislatif di bandingkan dengan Masyarakat.

Dengan demikian, kasus yang menjerat pejabat pemerintah dan DPRD Jambi dalam OTT oleh penyidik KPK menuai reaksi kekecewaan publik, yakni atas perilaku penyimpangan skandal terlarang pihak eksekutif sebagai pemberi dan legislatif sebagai penerima.

Ada hubungan kerjasama yang terorganisir oleh kedua lembaga negara tersebut, dengan bagi-bagi uang negara dengan istilah umum uang “ketok anggaran”.

Tentunya, hal ini ada kecemburuan dari pihak legislatif maupun eksekutif. Juga bisa dari luar, yang merasa tidak dapat berperan namun mengetahui ”skandal” tersebut. Dengan peristiwa itu, terungkaplah kasus “skandal terlarang pihak eksekutif dan legislatif” tersebut dalam OTT penyidik KPK.

Terkesan jika kita lihat bagaikan drama anak TK saling memainkan perannya masing-asing sebagai aktor.

Hal ini, mengakibatkan saling curiga ada bagian yang belum merata. Yang pada akhirnya terendus penyidik KPK. Tragedi ini menjadi fakta yang amat menarik untuk dapat kita tarik kesimpulan dalam Phatologi Birokrasi adalah penyakit biroksi yang sudah kronis.

Itu terjadi karena bukan lagi menjalankan fungsi dan wewenang dari tugas atas amanah yang diberikan, melainkan menjalankan kerjasama untuk bagi-bagi keuntungan dana negara untuk saling menguntungkan. Simbolis mutualisme, saling ketergantungan, bukan pada tataran positif namun negatif.

Kita Ketahui banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.

Walaupun maraknya korupsi di lembaga legislatif dan eksekutif  banyak diketahui masyarakat, namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit.

Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada

masyarakat, justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *