Artis Narkotika dan Hak Asasi Manusia

DR Anang Iskandar, SIK, SH, MH.
(Dosen Trisakti, Kepala BNN 2012 -2015. Kabareskrim 2015-2016)

Banyak artis terkenal yang bermasalah dengan narkotika, sebut saja Whitney Houston, Michael Jackson, mereka adalah penyalahguna narkotika yang momentum berita kematiannya menghebohkan dunia. Selain itu, banyak pula artis penyalahguna saat ini dalam perawatan rehabilitasi, mereka sedang berjuang untuk sembuh melawan penyakit adiksi narkotika serta dampak buruk akibat penyalahgunaannya. Secara fisik mereka masih dapat melakukan aktifitas keartisannya, namun secara mental mereka sakit jiwanya.

Ada juga artis yang ditangkap penegak hukum dan dipaksa  direhabilitasi seperti John Lenon, Bob Marley, Donovan karena kepemilikan narkotika. Sedang kan artis Williams justru dijebloskan ke penjara karena bertindak selaku pengedar. Sebagai public figure nilai beritanya sangat tinggi, apalagi artis bermasalah dengan narkotika meskipun perannya sebatas penyalahguna maka beritanya akan dijadikan referensi oleh masarakat

Demikian pula artis narkotika yang banyak tertangkap di Indonesia beberapa saat yang lalu, umumnya sebagai penyalahguna (bedakan penyalahguna dengan pengedar). Mereka adalah artis sakit dengan kondisi fisik yang relatif bugar dapat beraktifitas secara wajar, namun dibalik itu jiwanya sakit adiksi narkotika, yaitu sakit ketergantungan narkotika dimana fisik dan psyikisnya menagih narkotika setiap saat, terapinya masuk pada wilayah kesehatan jiwa. Artis sakit ini tidak memiliki kamus efek jera karena jiwanya agak terganggu.

Artis sakit ini, menurut undang-undang yang berlaku dikatagorikan sebagai artis yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Oleh undang-undang disebut penyalahguna, mereka diancam hukuman penjara kurang dari lima tahun sehingga tidak memenuhi syarat untuk ditahan. Mereka dijamin undang-undang narkotika untuk direhabilitasi. Kalau penyalahguna ini dimintakan visum/diasesmen oleh penyidik maka penyalahguna berubah status hukum menjadi pecandu.

Artis pecandu ini yang merupakan metamorpose dari penyalahguna, menurut undang-undang wajib direhabilitasi, dan menjadi tanggung jawab negara. Itu sebabnya dibentuk BNN dan ada nomenklatur Deputi Rehabilitasi. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan melalui: Rehabilitasi secara mandiri atas biaya keluarganya. Rehabilitasi dipaksa undang-undang melalui Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang dilaksanakan oleh kemenkes, kemensos dan BNN  dibiayai oleh APBN. Rehabilitasi dipaksa penegak hukum melalui penempatan dilembaga rehabilitasi sejak penyidikan, penuntutan sampai putusan hakim dibiayai oleh APBN .

Salah kaprah penanganan dan pemberitaan artis atau pesohor yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum, dengan diberikan penahan dan hukuman penjara yang seharusnya  direhabilitasi seperti selama ini lumrah terjadi, menyebabkan runyamnya penyelesaian narkotika di Indonesia. Hal ini disebabkan penanganan dan pemberitaannya seakan akan benar menurut hukum dan bisa menyelesaikan masalah narkotika di Indonesia.

Trend perkembangan penyalahguna narkotika

Secara khusus penelitian terhadap penyalahgunaan narkotika di kalangan artis atau pesohor belum pernah dilakukan, namun secara  umum telah dilakukan penelitian oleh BNN dan Puslitkes UI yang dilakukan setiap dua tahun sekali. Hasilnya menunjukan jumlah penyalahguna narkotika dari tahun ketahun mengalami kenaikan yang signifikan, dari awal dilakukan penelitian BNN jumlahnya 1,5 juta, sedangkan sekarang ini sudah mencapai 5,8 juta. Apa arti semua ini bagi kita?

Selaras dengan hasil penelitian narkotika tersebut diatas, artis/pesohor yang bermasalah dengan penyalahgunaan narkotika di Indonesia jumlahnya cukup banyak, perkembangannya mengikuti deret hitung. Di era jaman know perkembangannya sudah memasuki deret ukur, banyak artis yang ditangkap dan dibawa ke pengadilan.

Pada titik ini saya memberikan apresiasi kepada penyidik karena  prestasinya tetapi kalau penangan selanjutnya dilakukan secara konvensional, ditahan oleh penyidik dan jaksa dan dipenjara oleh hakim maka bisa membawa Indonesia masuk ke dalam “bencana” narkotika yang saat ini laju perkembangannya sudah memasuki tahap “darurat” narkotika.

Penyalahguna (drug user) berdasarkan konvensi internasional dan undang narkotika kita wajib dijebloskan ke tempat rehabilitasi tanpa babibu sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada penegak hukum. Penyidik, penuntut umum diberikan kewenangan menjebloskan penyalahguna ke tempat rehabilitasi. Hakim juga diberi kewenangan memvonis hukuman rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah dalam sidang pengadilan secara terbuka. Masih berdasarkan undang narkotika bahwa rehabilitasi itu hukuman dimana hukuman rehabilitasi itu secara yuridis sama dengan hukuman penjara.

Menurut penelitian singkat saya, bagi penyalahguna narkotika hukuman rehabilitasi jauh lebih berat rasanya dibanding hukuman penjara. Pada point ini banyak masyarakat yang tidak memahami.

Menurut literatur dan hasil penelitian para ahli bahwa hukuman rehabilitasi jauh lebih baik dari pada hukuman penjara karena: Pertama, hukuman rehabiliatasi terasa lebih berat dan bersifat menyembuhkan, dipenjara hanya dapat nestapa dan melangengkan sakit ketergantunganya karena lapas tidak memiliki tupoksi rehabilitasi. Kedua, menghukum penyalahguna dengan hukuman penjara menyebabkan penyalahguna jumlahnya makin lama makin bertambah banyak karena penyalahguna lama tidak dipulihkan sementara timbul penyalahguna baru. Ketiga, bandar narkoba dunia melirik Indonesia karena pangsa pasarnya sangat besar. Keempat, tidak ada gunanya menghukum penjara orang kecanduan bahkan dapat dikatakan menghambur-hamburkan sumber daya penegakan hukum.

Melanggar hak asasi manusia

Artis menggunakan narkotika secara tidak sah dan melanggar hukum itu apabila ditangkap selanjutnya tidak dijebloskan ke tempat rehab dan dihukum rehabilitasi adalah bentuk tindakan penegakan hukum yang bertentangan dengan maksud undang-undang narkotika dan tidak menghormati hak asasi manusia dalam upaya mendapatkan derajat kesehatan yang diperjuangkan pemerintah.

Disisi lain diluar artis ada jutaan keluarga Indonesia pengguna narkotika secara illegal/tidak sah dan melanggar hukum, yang dihantui rasa ketakutan karena takut ditangkap oleh penegak hukum dan dijebloskan ketahanan atau penjara mengalahkan upaya rasional mereka guna  mendapatkan hak rehabilitasi untuk sehat sebagai elemen penting dalam hak asasi manusia. Akibat salah kaprah dalam penanganan narkotika menyebabkan mereka menjadi kesulitan untuk mendapatkan akses untuk pulih, dampaknya mereka sepanjang hidupnya menjadi demannya peredaraan narkotika.

Seorang penyalahguna dalam perjalanan hidupnya akan bermetamorpose menjadi pencandu, pecandu yang tidak mendapatkan pertolongan dalam bentuk rehabilitasi berpotensi berdampak buruk dan rentan kejangkitan penyakit ikutan seperti gangguan fungsi metabolesme, gangguan penyakit lever, hepatitis, ginjal maupun terjangkit HIV AID.

Fenomena artis narkotika

Narkotika adalah “obat” bermanfat untuk menghilangkan rasa sakit sekaligus dapat menimbulkan penyakit adiksi/ketergantungan narkotika apabila pemakaiannya tidak atas petunjuk dokter. Effek ganda narkotika ini yang menyebabkan penyalahgunaan narkotika dilarang bahkan diancam pidana dengan tujuan agar masyarakat termasuk artis atau pesohor takut dan tidak menyalahgunakan narkotika. Menurut Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam menangani penyalahguna narkotika menggunakan kontruksi ancaman pidana melalui sistem peradilan pidana, namun ketika penyalahguna bermasalah dengan hukum maka penegak hukum wajib menerapkan  sistem peradilan rehabilitasi sejak disidik, dituntut sampai diadili.

Mengapa demikian? Karena undang-undang narkotika menganut double track system pemidanaan. Dimana penyalahgunanya diproses melalui sistem peradilan pidana rehabilitasi berakhir di lembaga rehabilitasi, sedangkan pengedarnya diproses dengan sistem peradilan pidana berakhir hukuman penjara. Pada point ini masarakat hukum kita tidak mempelajari maksud dan tujuan undang-undang secara detail dan mengangap undang-undangnya yang salah.

Fenomena manfaat dan mudaratnya narkotika yang tidak difahami oleh para artis/pesohor secara tidak lengkap, mereka tahunya hanya manfaat dari narkotika, yaitu menghilangkan rasa sakit dan dapat menstimulan aktifitas keartisannya tapi tidak memahami mudaratnya, yaitu sakit adiksi berkepanjangan dan tidak bisa berhenti atas inisiatif sendiri. Bila ini yang terjadi, sangat merugikan bagi masa depan kesehatan artis itu sendiri, keluarga, bangsa dan negara.

Artis/pesohor yang membeli, membawa, memiliki narkotika dalam jumlah tertentu (sedikit) untuk dikonsumsi sendiri dan temen-teman dalam pesta narkotika bukan penjahat murni. Menurut victimologi adalah korban kejahatan para pengedar narkotika, yang oleh undang-undang dikriminalkan sebagai penyalahguna untuk diri sendiri. Namun dibedakan proses pertanggunganjawab pidananya maupun penjatuhan sangsinya karena mereka tidak memiliki niat jahat. Mereka membeli, memiliki narkotika hanya karena tuntutan penyakit kecanduannya, tidak untuk dijual guna mendapatkan keuntungan. Maka yang dirugikan artis itu sendiri, mereka hanya menzholimi diri sendiri, namun secara yuridis mereka pelanggar hukum.

Artis sakit adiksi narkotika itu umumnya disebabkan karena salah pergaulan, mereka diajak teman deket untuk menjadi penyalahguna narkotika. Disamping itu, mereka untuk pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya dirayu, ditipu dengan segala macam iming-iming dengan segala “kenikmatan” narkotika oleh temen deketnya, bahkan ada yang dipaksa.

Sesungguhnya mereka adalah korban penyalahgunaan narkotika yang secara teknis yuridis harus digali oleh penegak hukum, karena korban penyalahguna narkotika itu wajib direhabilitasi. Itu sebabnya kalau penyidik penuntut umum yang menahan penyalahguna dan hakim menghukum penjara dalam proses pertanggunganjawab hukum, masuk dikatagori melanggar hak asasi manusia, karena menahan tersangka penyalahguna tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Berbeda terhadap artis atau pesohor yang membeli narkotika dalam jumlah tertentu (banyak) untuk dijual agar mendapatkan keuntungan, yang demikian digolongkan sebagai pengedar. Mereka yang harus dihukum berat. Pasalnya, mereka mempunyai niat jahat mencari keuntungan untuk memperkaya diri dan menjerumuskan penyalahgunanya ke dalam masalah adiksi, artis pengedar ini yang harus dihukum berat.

Pada akhirnya kita berharap Indonesia dapat menyelesaikan masalah narkotika dengan baik sesuai Undang-undang No 35 tahun 2009 . Dimana undang-undang narkotika ini sangat up to date (meskipun ada kekurangannya), karena mengakomodasi tiga pilar  utama cara penyelesaian masalah narkotika yang harus dilakukan secara seimbang yaitu : Pertama, terhadap penyalahguna narkotika harus didorong, dipaksa dan ditangkapi untuk dijebloskan ke tempat rehabilitasi agar tidak jadi pecandu/demand. Kedua, terhadap pengedarnya tidak hanya diberikan hukuman berat seperti hukuman penjara seumur hidup atau pidana mati tapi juga harus dikenakan tindak pidana pencucian uang serta diputus jaringan komunikasi bisnisnya selama menjalani hukuman dilapas agar tidak jadi pengedar lagi/jera. Ketiga, terhadap masyarakat khususnya remaja yang belum terlibat narkotika dibentengi dengan langkah pencegahan agar tidak jadi embrionya penyalahguna yang punya sifat kecanduan.

Pada titik ini masyarakat hukum dan penegak hukumnya harus memilah dan mengawasi mana pelaku yang dikatagorikan sebagai pengedar yang harus penjara. Dimana pelaku yang dikatagorikan penyalahguna yang harus ditempatkan di lembaga rehabilitasi sebagai bentuk hukuman sejak proses penyidikan, penuntutan, peradilan dan penjatuhan hukuman. Kalau tidak jangan mengharapkan penyalahgunaan dan peredaran narkotikanya menurun apalagi berharap Indonesia bebas dari penyalahgunaan narkotika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *