Jaksa Diperintah Hakim Agar Tio Rehabilitasi

DR Anang Iskandar, SIK,SH, MH 
Ka BNN 2012 – 2015
Kabareskrim 2015 – 2016
Dosen Universitas Trisakti

Hakim yang mengadili Tio Pakusadewa atas dasar kewenangan yang diberikan oleh UU Narkotika dalam menangani perkara penyalahguna sehingga jaksa penuntut umum tidak berkutik ketika diperintah hakim untuk mengeluarkan Tio dari tahanan untuk menjalani rehabilitasi. Seharusnya semua mainset hakim termasuk jaksa penuntut umum dan penyidik memahami bahwa penegakan hukum terhadap penyalahguna berdasarkan UU Narkotika bersifat rehabilitatif, penempatan kedalam lembaga rehabilitasi atau hukuman rehabilitasi sebagai premium remedium bukan penjara. Penjara itu hanya untuk pengedar.

Perkara Tio adalah perkara kepemilikan narkotika dalam jumlah bersihnya dibawah 1 gram, barang bukti lain adalah bong atau alat hisap. Ini mengindikasikan sebagai penyalahguna. Dalam menangani perkara kepemilikan narkotika dalam jumlah sedikit untuk pemakaian sehari bagi diri sendiri, tidak untuk dijual, penegak hukum diperintahkan undang-undang narkotika untuk menjamin tersangka/terdakwa penyalahguna untuk direhabilitasi bukan dipenjara (pasal 4).

Perkara Tio oleh jaksa penuntut umum dikontruksi sebagai pengedar sebagai tuduhan primair, itu menjadi sebab Tio ditahan ditingkat penuntutan, sebelumnya juga ditahan, ditingkat penyidikan sebagai pengedar tapi jaksa peneliti sebagai penuntut justru membenarkan penahan terhadap Tio, disini masalahnya. Kenapa Tio dikontruksi pasal pengedar, dikomulatifkan dengan pasal penyalahguna, sedangkan secara awam saja dilihat dari jumlah BB-nya sedikit. Kepemilikannya digunakan sendiri tidak untuk dijual, ditemukan alat hisap, hasil lab positif mengandung narkotika maka awam berkesimpulan Tio itu penyalahguna narkotika.

Tugas penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut, dan hakim adalah menjamin penyalahguna direhabilitasi dengan mengkontruksi penyalahguna seakan akan jadi korban dan memilah, mana penyalahguna mana pengedar ini adalah amanat UU narkotika, kalau tidak, tidak akan penyalahguna mendapatkan jaminan rehabilitasi dari UU, tidak akan ketemu pecandu yang menurut UU wajib direhabilitasi.

Setelah terkontruksi sebagai penyalahguna, selanjutnya kewajiban penyidik atau penuntut umum untuk melakukan assesmen terhadap penyalahguna untuk mengetahui kadar ketergantungannya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merehabilitasi, sekaligus sebagai informasi bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi, yang jelas, tidak lebih dari 4 tahun sesuai ancaman pidananya. Ini yang tidak dilakukan oleh penyidik dan jaksa selama ini sehingga penyalahguna oleh hakim yang tidak “OK” dihukum penjara yang dampak buruknya kemana mana.

Ketika penyidik menahan dan dikuatkan oleh jaksa peneliti yang bertidak sebagai penuntut umum maka dapat dipastikan ini bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU narkotika, karena terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika tujuannya dicegah dilindungi dan diselamatkan serta dijamin rehabilitasinya sedangkan terhadap pengedar hanya satu kata “diberantas”

Apalagi penyalahguna itu berdasarkan KUHAP tidak memenuhi sarat untuk dilakukan penahanan selama proses penyidikan, penuntutan dan peradilan karena diacam dengan hukuman pidana kurang dari 5 tahun (pasal 21). Untuk dapat ditahan dapat dipastikan dalam proses penegakan hukum, penyidik, penuntut umum bahkan hakim pasti mengkomulatifkan dengan pasal pengedar (pasal 111, 112, 113, 114). Kalau mengkomulatifkan dengan pasal pengedar berarti penegak hukum melanggar tujuan dibuatnya UU narkotika.

Dalam perkara Tio, jaksa tidak berkutik ketika hakim menyatakan dakwaan sebagai pengedar tidak terbukti (ini dakwaan bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU) hanya sebagai tameng agar tersangka bisa ditahan, apalagi jaksa diperintahkan untuk mengeluarkan Tio dari tahanan untuk menjalani rehabilitasi di RS Ketergantungan obat di Cibubur, Jakarta.

Dititik ini, jaksa penuntut umum sebagai peneliti berkas perkara mestinya “malu” karena tidak memahami bahwa penegakan hukum terhadap penyalahguna bersifat rehabilitatif. Penyalahguna tidak boleh dipaksa ditahan dengan tuntutan komulatif karena amanat UU narkotika, penyalahguna dijamin untuk direhabilitasi, konkritnya jaksa dan penegak hukum lainnya yang menjamin penyalahguna direhabilitasi. Kok nyatanya ditahan dan dipenjara.

Itu lah kontruksi UU Narkotika yang menurut saya sangat bagus dan “seksi” serta up to date sesuai amanat UU No 8 tahun 1976 yang mengintegrasikan pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan karena narkotika itu obat yang bermanfaat bagi kesehatan, namun kalau disalahgunakan dapat menyebabkan penyakit adiksi yang hanya bisa pulih kalau direhabilitasi. Karena mengintegrasikan pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan maka masarakat dan penegak hukumnya banyak yang gagap, dan pusing, bagaimana menangani perkara penyalahguna bahkan karena pusingnya ada yang minta UU Narkotika harus dirubah karena ambigulah, tidak tegaslah, pokoknya UU Nakotika diganti.

Selama ini penyalahguna yang bermasalah dengan hukum banyak yang bermuara di penjara, sedangkan amanat undang-undangnya, selama menjalani proses hukum penyalahguna ditempatkan di lembaga rehabilitasi masa menjalani rehabilitasi dalam proses penyidikan dan penuntutan dihitung sebagai masa menjalani hukuman dan ketika dipengadilan. Terbukti salah atau tidak terbukti bersalah, dihukum rehabilitasi. Inilah jaminan UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang wajib dilaksanakan oleh penegak hukum. Dalam kajian teori namanya dekriminalisasi penyalahguna. Artinya diproses secara pidana, diberikan upaya paksa berupa rehabilitasi dan dihukum rehabilitasi.

Perkara Tio Pakusadewo ini adalah salah satu gambaran proses penegakan hukum dimana penyidikan dan penuntutannya bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU sedangkan peradilan nya “benar” dan “keberuntungan” Tio ketemu hakim yang OK, kalau tidak nasibnya akan seperti jedun dan jedun lainnya ditahan selama proses penegakan hukum dan berakhir divonis hukuman penjara.

Sekarang jedun dan jedun lainnya ini mengisi sebagian besar lapas lapas diseluruh Indonesia. Jedun-jedun ini tidak mendapatkan pelayanan rehabilitasi sehingga di lapas dapat dipastikan masih dalam kondisi kecanduan. Oleh karena itu dapat ditebak bahwa lapas pasti jadi lokasi tujuan peredaran narkotika. Ini salah satu dampak kalau jedun dikenakan penahanan dan berakhir di penjara

Setelah perkara Tio, ayo kita tebak tebakan kedepan perkara penyalahgunaan narkotika/perkara jedun ditahan atau tidak? Dihukum penjara atau dihukum rehabilitasi?  Kita tunggu jawabannya di WA ini

#stopnarkoba
#stopvonispenjara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *