Hakim dan Sangsi Rehabilitasi

Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH, Ka BNN 2012 – 2015, Kabareskrim 2015 – 2016, Dosen Universitas Trisakti

Banyak amar putusan hakim menyatakan terdakwa penyalahguna terbukti secara sah dan menyakinkan melakukaan tindak pidana penyalahguna narkotika untuk diri sendiri. Seharusnya demi hukum diikuti penjatuhan sangsinya berupa sangsi rehabilitasi bukan sangsi penjara.

Karena selama ini penjatuhan sangsinya berupa sangsi penjara maka dampak nyatanya adalah lapas menjadi over load, dampak tidak nyatanya berupa penyalahguna tidak sembuh, negara kita menghasilkan generasi sakit adiksi berkepanjangan. Hal ini merupakan sasaran empuk bagi para pengedar, akibatnya negara (read; penegak hukum) kuwalahan dalam menghadapi permasalahan narkotika, ibarat hilang satu tumbuh seribu dan dampaknya kemana-mana.

Dalam kajian saya terhadap, UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika, dimana UU Narkotika ini mengatur kontruksi “dekriminalisasi penyalahguna” yang artinya kepemilikan dan penggunakan narkotika dalam jumlah tertentu untuk pemakaian sehari, digunakan untuk kepentingan diri sendiri merupakan perbuatan melanggar hukum narkotika, namun apabila perbuatan tersebut telah dilakukan maka upaya paksa dan penghukumannya berupa rehabilitasi (Anang Iskandar 2014).

Temuan ini terinspirasi setelah MA mengeluarkan Surat Edaran no 4 tahun 2010 tentang penempatan penyalahguna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu ke dalam lembaga rehabilitasi, dimana sebelumnya meminta kajian akademis dari BNN.

Sejak itu penyalahguna dan pengedar secara teknis penegakan hukum dibedakan secara jelas, penyalahguna diproses secara hukum bersifat rehabilitatif, di tempat di lembaga rehabilitasi dan dihukum rehabilitasi (read; pasal 4) karena prinsip UU narkotika “hukuman”rehabilitasi sama dengan hukuman penjara (pasal 103/1). Sedangkan pengedar diperlakukan secara keras, yaitu dipenjara, diperberat juga dengan tuntutan tindak pidana pencucian uang serta diputus jaringan bisnis narkotikanya agar tidak berdaya.

Dalam UU No 35 tahun 2009  tentang narkotika jelas menyatakan bahwa perkara penyalahgunaan narkotika itu adalah perkara kombinasi antara perkara kesehatan dan perkara hukum, yang terintegrasi dalam suatu konsep dimana pelakunya dinyatakan sebagai kriminal tercantum dalam pasal 127 UU diancaman dengan ancaman pidana “ringan” maksimal 4 tahun. Namun, tujuan penegakan hukumnya dicegah, dilindungi dan diselamatkan, serta dijamin rehabilitasinya agar sembuh/pulih (pasal 4 b dan d). Sedangkan terhadap pengedar pelakunya diberantas (pasal 4c).

Konsep seperti tersebut diatas adalah konsep baru dalam sistem hukum di Indonesia yang kemudian dikenal dengan dekriminalisasi penyalahguna narkotika, dimana pada prinsipnya; penyalahguna diproses secara kriminal, penyidik, penuntut dan hakim menjamin penyalahguna direhabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan dan peradilan dengan cara di tempatkan di lembaga rehabilitasi dan hakim berkewajiban menjatuhkan sangsi berupa hukuman rehabilitasi.

Sayang prakteknya tidak demikian para hakim justru menjatuhkan sangsi penjara. Artinya, sangsi yang menyakitkan alias memperparah penyakit adiksi narkotika yang diderita terdakwa dan menyakitkan hati masarakat untuk mendapatkan hak untuk sembuh melalui rehabilitasi. Ini sesungguhnya melanggar hak asasi manusia.

Putusan hakim bak pelangi yang sumbang

Berangkat dari dakwaan jaksa yang bersifat berlapis, susidiar, dan kumulatif (read; mestinya dakwaan tunggal) dimana dakwaan demikian tidak berdasar pada pasal 4 UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika dan dengan memaksakan dakwaan berlapis atau susidiar maupun kumulatif mengakibatkan terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ini yang menjadi salah satu sebab keputusan hakim menghukum penjara berasa sangat menyakitkan bak warna pelangi yang sumbang terhadap perkara penyalahguna narkotika.

Demikian pula penjatuhan sangsi penjara terhadap penyalahguna narkotika bagi diri sendiri oleh hakim, hakim menyalahi tujuan dibuatnya UU sesuai pasal 4 UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika, dan hakim tidak melaksanakan tugas wewenang serta kewajiban yang diberikan padanya (pasal 127/2), yaitu dalam memeriksa perkara penyalahguna, baik terbukti salah atau tidak bersalah penjatuhan hukumannya  berupa hukuman rehabilitasi (103 ayat 1).

Dengan penjatuhan hukuman penjara terhadap penyalahguna untuk diri sendiri, hakim justru tidak mendukung program pemerintah (pasal 55) dan PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu yang digawangi kemenkes, kemensos dan program P4GN yang diawaki BNN.

Vonis menyakitkan yang sumbang itu tergambar dari model putusan hakim sebagai berikut:

1. Perkara penyalahgunaan narkotika di jambi. Jaksa Kuala Tungkal menuntut terdakwa penyalah guna untuk diri sendiri atas nama Syafrizal sebagai pengedar dengan pasal alternatif 114/1 dan 111/1 tanpa pasal 127/1 (penyalahguna untuk diri sendiri) dengan barang bukti satu paket kecil ganja kering, terdakwa ditahan selama proses penyidikan dan penuntutan.

Oleh hakim PN Kuala Tungkal terhadap terdakwa Syafrizal diputus rehab (read;  tepat berdasarkan Pasal 103 UU Narkotika). Namun, jaksa banding, oleh PT divonis penjara tetapi  tetap di rehab, di MA diputus bebas karena tidak memenuhi pasal yang didakwakan (kepemilikan narkotika untuk diri sendiri didakwa pengedar). Model keputusan ala pidana umum ini cukup banyak.

2. Perkara penyalahgunaan narkotika di Jakarta. Jaksa Jakarta Selatan menuntut terdakwa Tio Pakusadewo dengan dakwaan alternatif, dakwaan primair sebagai pengedar (112/2) dan dakwaan sekundair sebagai penyalahguna untuk diri sendiri (127/1) dengan barang bukti dibawah SE MA no 4/2010 (read; mestinya dakwaan tunggal), terdakwa ditahan dalam proses penyidikan dan penuntutan (read; mestinya ditempatkan di lembaga rehabilitasi).

Oleh Hakim PN Jakarta Selatan dihukum penjara sisanya diperintahkan menjalani rehabilitasi di RS Ketergantungan Obat. (read; harusnya berdasarkan pasal 103 terhadap perkara yang dinyatakan hakim sebagai penyalahguna untuk diri sendiri, penjatuhan sangsinya berupa rehabilitasi baik terbukti maupun tidak terbukti bersalah). Model ini yang dijatuhkan pada Rhido Rhoma dan Tessy termasuk Sammy Simorangkir umumnya artis dan pesohor.

3. Jaksa Jakarta Utara menuntut terdakwa Djenal Abidin bin Rahmad dengan kepemilikan narkotika jenis ganja seberat 0, 62 gram (dibawah SE MA no 4/2010) dengan dakwaan subsidair sebagai dakwaan primair adalah pasal 111/1 dan dakwaan subsidair adalah pasal 127/1 (read;  mestinya dakwaan tunggal). Oleh penyidik dan jaksa ditahan (read; mestinya tidak memenuhi sarat ditahan).

Keputusan hakim menyatakan terdakwa Djenal Abidin bin Rahmad dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan sebagai penyalahguna untuk diri sendiri tapi penjatuhan hukumannya dengan pidana penjara 2 tahun 8 bulan (read; demi hukum mestinya wajib menggunakan kewenangan hakim pada pasal 127/2 dan memutuskan hukuman rehab sesuai pasal 103). Model penjatuhan sangsi penjara dengan amar putusan terbukti secara sah melakukan tidak pidana penyalah guna narkotika untuk diri sendiri jumlahnya ribuan yang membuat lapas over load.

Mestinya berdasakan UU Narkotika perkara-perkara seperti tersebut diatas didakwa dengan pasal tunggal, yaitu pasa 127/1 terdakwanya tidak ditahan ketika disidik, dituntut karena tidak memenuhi sarat penahanan. Namun ditempatkan di lembaga rehab dan statusnya bukan ditahan tapi disembuhkan dan tidak didakwa dengan pasal berlapis (ini tujuan UU). Hakim terhadap perkara penyalahguna hukumnya wajib (pasal 127/1) memvonis rehabilitas baik terbukti salah maupun tidak terbukti bersalah (pasal 103/1).

Mahkamah Agung bertanggungjawab

Pelangi keputusan hakim yang tidak indah ini adalah tugas mahkamah agung untuk meluruskan, dan membuat indah meskipun hakim itu punya kewenangan yg mandiri. Keputuasannya bebas sesuai keyakinannya, namun keputusan itu tidak boleh keluar dari konsep pelangi yang indah, yaitu koridor hukum yang memuat kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatannya.

Pertanyaannya apa gunanya menahan dan menghukum penjara kepada penyalahguna yang nota bene orang sakit adiksi? Kenapa keputusan yang menyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri kok disertai sangsi pidana penjara? Mengapa kok tidak sangsi rehabilitasi? Padahal menurut UU No 35 tahun 2008 wajib bagi hakim menghukum rehabilitasi, hukuman rehabilitasi sama dengan hukuman penjara.

Kalau hakim tidak faham bahwa penyalahguna untuk diri sendiri wajib divonis rehabilitasi maka dapat dipastikan Indonesia berjalan kearah yang salah dalam pencegahan dan pemberantasan narkotika.

Kalau hakim benar tidak faham jika penyalahguna untuk diri sendiri wajib divonis rehabilitasi, maka ini menjadi tugas berat mahkamah agung yang mendesak untuk menertibkan para hakim dan tidak mengandalkan upaya hukum yang dilakukan oleh masyarakat pencari keadilan, karena masyarakat juga tidak faham kalau penyalahguna bagi diri sendiri itu wajib divonis rehabilitasi.

Sekali lagi, ini adalah tujuan dibuatnya undang-undang narkotika. Dalam UU Narkotika pemerintah mewajibkan orang tua melaporkan anaknya yang menjadi penyalahguna yang sudah kecanduan narkotika yang disebut pecandu untuk mendapatkan penyembuhan dari penyakit ketergantungan narkotika kalau tidak melaporkan, orang tua diancam dengan pidana kurungan 6 bulan. Nah lho

Tugas kita semua untuk beramal dalam mengawal penegakan hukum terhadap penyalahguna untuk diri sendiri agar sesuai aturan hukum, rasional dan nurani kita, mosok sih orang sakit divonis penjara, yang bener ae.

#StopNarkoba #StopMenahan #StopVonisPenjara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *