Perkara Farid RM dan Penegakan Hukum Rehabilitatif

Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH.

Ka BNN 2012 – 2015, Kabareskrim 2015 – 2016, Dosen FH Universitas Trisakti

Perkara Farid RM hasil tangkapan polres jakarta utara tanggal 24 agustus 2018 dimana untuk ketiga kalinya dia terjerat penyalahguna narkotika dan nada nada akan memperoleh perlakuan yang sama, yaitu ditahan ketika disidik dan dituntut serta dihukum penjara oleh hakim, hal ini merupakan refleksi kegagalan penegakan hukum dengan memenjarakan penyalahguna.

Proses penegakan hukum yang demikian adalah proses penegakan hukum yang tidak menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan masalah oleh karena itu orientasi penegakan hukum harus berputar arah tidak lagi menghukum penjara tapi menghukum rehabilitasi sesuai tujuan dibuatnya UU No 35/2009 tentang narkotika, yaitu penegakan hukum bersifat melindungi, menyelamatkan penyalahguna dan menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu.

Perkara Farid RM dan perkara Jenniver Dunn yang juga tiga kali tertangkap, serta perkara penyalahguna lainnya dalam kaca mata penegakan hukum berdasarkan UU Narkotika adalah perkara dimana tersangkanya adalah orang sakit pengidap adiksi kronis, dia akan berhenti mengkonsumsi narkotika kalau “diterapi” dengan hukuman rehabilitasi, itu sebabnya UU Narkotika memperkenalkan hukuman rehabilitasi dan mewajibkan hakim memperhatikan (127/2) dan menggunakan kewenangan (pasal 103) untuk menghukum rehabilitasi bagi penyalahguna bagi diri sendiri (pasal 127/2)

Karena tidak ada keserasian antara ketentuan UU dan pelaksanaan penegakan hukum khususnya upaya paksa dan penjatuhan sangsi terhadap perkara penyalahgunaan narkotika maka perlu ada managemen koordinasi penegakan hukum yang kuat agar implementasi penegakan hukum tetap memperoleh kepastian hukum, memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi tersangka dan kita semua.

Perlu managemen penegakan hukum yang bener

Tujuan penegakan hukum terhadap perkara penyalahgunaan adalah mencegah, melindungi dan menyelamatkan penyalah guna (pasal 4b), menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan sosial (pasal 4d) sehingga penegakan hukum terhadap perkara penyalah guna bersifat humanis dan rehabilitatif.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka penegakan hukum harus dikordinasikan dengan baik melalui forum penegak hukum narkotika agar penegakan hukum berlandaskan UU Narkotika yang bersifat humanis dan rehabilitatif dengan upaya paksa dan penghukuman berupa rehabilitasi dapat terlaksana, mengingat penegakan hukum bersifat represif dengan penahanan dan sangsi hukuman penjara hanya cocok untuk para pengedar.

Selama ini penyalahguna seperti Jenniver Dunn dan Fariz RM diperlakukan seolah oleh seperti pengedar dengan cara disidik, dituntut dengan pasal berlapis, subsidiar atau pasal kumulatif dengan pasal pengedar sehingga selama proses penegakan hukum tersangka penyalahguna ditahan dengan pasal pengedar dan divonis dengan sangsi berupa hukuman penjara.

Penegakan hukum bersifat rehabilitatif

Berdasarkan tujuan dibuatnya UU Narkotika (pasal 4) dan ketentuan beracara dalam perkara penyalahguna narkotika (pasal 54, 55 dan 103) serta berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 tahun 2010 tentang penempatan penyalahguna, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika maka penegak hukum dengan mudah membedakan mana penyalahguna dan mana pengedar. Penyalahguna untuk diri sendiri itu (pasal 127/1) apabila kepemilikan narkotikanya jumlah tertentu (sedikit) untuk pemakaian sehari kalau sabu berat barang buktinya 1 gram ke bawah, kalau jumlah barang buktinya 1 gram ke atas tergolong sebagai pengedar (pasal 111 atau 112 atau 113, atau 114).

Secara teknis, penyalahguna tidak boleh disidik dan dituntut secara berlapis, subsidiar dan kumulatif karena bertentangan dengan arah tujuan dibuatnya UU Narkotika,

tidak memenuhi sarat ditahan (pasal 21 KUHAP) sebagai gantinya wajib ditempatkan kedalam lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya dan diberikan sangsi rehabilitasi yang sifatnya wajib (pasal 127/2 dan 103/1), hukuman rehabilitasi itu sama dengan hukuman penjara, dimana masa menjalani rehabilitasi dihitung sama dengan menjalani hukuman (pasal 102/2)

Untuk menjamin agar penyalahguna direhabilitasi maka berdasarkan turunan UU narkotika yaitu PP No 25/2011 pasal 13 penegak hukum diberi kewenangan untuk menempatkan penyalah guna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi sesuai tingkat kewenangannya. Artinya mulai tingkat penyidikan penuntutan dan peradilan sudah dapat dilakukan penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi sebagai wujud jaminan bahwa tersangka penyalahguna dijamin rehabilitasi.

Keberhasilan penegakan hukum yang bermuara di lembaga rehabilitasi dapat dilihat dari perkara Sammy Simorangkir vonis hakim berakhir di lembaga rehabilitasi milik BNN di Lido, Tessy juga mendapatkan vonis rehabilitasi dilaksanakan di lembaga rehabilitasi Jakarta Timur milik swasta, keduanya sukses lepas dari pengaruh narkotika ketika kembali ke masyarakat meskipun keduanya mengalami penahanan ditingkat penyidikan dan penuntutan.

Dampak positif penegakan hukum bersifat rehabilitatif terhadap perkara pernyalahguna narkotika antara lain;

1. Dapat menekan over load di Lapas dengan segala tetek bengek permasalahannya

2. Merehabilitasi penyalah guna berarti menghilangkan sumber enerji peredaran narkotika di Indonesia.

3. Proses penegakan hukum rehabilitatif ini menghasilan generasi sehat.

4. Biaya menghukum dapat digunakan biaya menyembuhkan.

5. Menghidupkan usaha masyarakat untuk menyembuhkan keluarga yang sakit adiksi secara mandiri dan usaha pemerintah melalui program wajib lapor untuk menyembuhkan penyalah guna

#stopnarkoba #stopvonispenjara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *