Hakim Tersesat Bila Penyalahguna Dipenjara

Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH.
Ka BNN 2012 – 2015
Kabareskrim 2015 – 2016
Dosen Trisakti

Berdasarkan Undang Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UUN) hakim wajib menghukum rehabilitasi terhadap perkara penyalahgunaan narkotika yang dibawa ke pengadilan karena tujuan dibuatnya UUN dalam proses penegakan hukum terhadap penyalah guna adalah mencegah, melindungi dan menyelamatkan serta menjamin pengaturan rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu, sedangkan terhadap pengedar adalah memberantas peredaran gelap natkotika dan prekusor narkotika.

Penegakan terhadap penyalah guna, hakim diberikan kewenangan yang sangat strategis sesuai pasal 127/2 dan pasal 103 UUN dimana hakim dalam memeriksa perkara pecandu yaitu penyalah guna dalam keadaan ketergantungan “dapat” (baca: kewenangan khusus sifatnya wajib) menghukum terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti bersalah dan mengambil tindakan memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah.

Namun kalau kita meneliti apa yang tertera di web direktori keputusan hakim Mahkamah Agung terhadap perkara penyalah guna untuk diri sendiri, kita akan kaget karena ada ribuan keputusan hakim yang sesat karena menghukum para penyalah guna untuk diri sendiri dengan hukuman penjara. Seakan akan tujuan penghukuman terhadap penyalah guna sama dengan tujuan penghukuman terhadap pengedar.

Kenapa keputusan hakim menghukum penjara terhadap penyalah guna untuk diri sendiri sebagai keputusan sesat ?

Pertama, Hakim menggunakan hukum acara bersifat umum (KUHAP) dalam memvonis perkara penyalahgunaan narkotika, mestinya menggunakan hukum acara khusus yang diatur UU Narkotika, hal ini mengakibatkan:
a. Hakim dalam menjatuhkan sangsi “tidak berdasar UU Narkotika” yang secara khusus mengintegrasikan pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan, dimana dimàna UUN menyatakan hukuman menjalani rehabilitasi adalah bentuk hukuman bagi pelaku penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri, sedangkan hukuman penjara bagi berlaku hanya kepada pengedar. Status dan kedudukan hukuman rehabilitasi sama dengan hukuman penjara (pasal 103/2)

b. Hakim tidak mengacu pada tujuan dibuatnya UUN yang secara explisit tercantum dalam pasal 4 yaitu terhadap penyalah guna (pasal 127/1) adalah mencegah melindungi dan menyelamatkan para penyalah gunanya meskipun dilarang dan diancam dengan hukuman pidana (pasal 4b), dijamin mendapatkan rehabilitasi (pasal 4d). Apabila penyalah guna terbukti menjadi pecandu dan korban penyalah gunaan hukumnya wajib menjalani rehabilitasi (pasal 127/3). Hakim wajib menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 sedangkan terhadap pengedar, tujuan UUN adalah memberantas pengedar (pasal 4c).

c. Hakim tidak memahami UUN yang berasaskan perlindungan, nilai nilai ilmiah dan memiliki alasan pemaaf khusus bagi penyalah guna agar tidak dipenjara. Penyalah guna adalah orang sakit adiksi hanya dapat pulih melalui proses rehabilitasi, penyalah guna dapat berubah secara alamiah menjadi pecandu atau berubah menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Penyalah guna juga dimaafkan UU apabila melaporkan diri ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk menjalani rehabilitasi, status penyalah guna yang menjalani perawatan/rehabilitasi secara yuridis berubah dari kriminal menjadi tidak dituntut pidana. Apabila setelah dirawat relap lagi (dua kali perawatan) tetap tidak dituntut pidana.

Penyalah guna yang telah berubah menjadi pecandu dan menjadi korban penyalahgunaan narkotika (127/3) menurut UUN pasal 54 wajib menjalani rehabilitasi.
Penyalah guna dipenjara justru menambah parah sakit adiksinya dan berkarier sebagai pecandu didalam penjara maupun setelah keluar dari penjara. Sebagai contoh yang dialami Doni Cipto mangun kusumo, Jenniver Dunn dan temennya (baca web direktori putusan hakim) dimana mereka mendapat putusan berulang sampai 3 kali menjalani hukuman penjara akibat perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri (perkara pecandu).

d. Hakim lalai akan kewajibannya.
Dalam memeriksa perkara penyalah guna berdasarkan UUN hakim wajib (127/2) memperhatikan dan membuktikan apakah terdakwa penyalah guna yang sedang diperiksa tersebut dalam keadaan ketergantungan atau korban penyalah gunaan narkotika (127/3), kalau terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri dan dalam keadaan ketergantungan yang dikenal sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika hakim memiliki kewenangan yang bersifat wajib menghukum penyalah guna untuk menjalani rehabilitasi bila terdakwa terbukti bersalah dan hakim juga wajib melakukan tindakan untuk memerintah terdakwa menjalani rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah (pasal 103/1)

f. Hakim banyak bertanya, kalau dihukum rehabilitasi tempatnya dimana ? Tempat menjalani rehabilitasi adalah rumah sakit yang ditunjuk oleh menteri kesehatan (pasal 56). Rumah sakit ini sudah tergelar diseluruh indonesia tinggal membuat petunjuk teknis layanan rehabilitasinya. Ini tidak jalan karena hakim jarang dan hampir tidak pernah menjatuhkan hukuman menjalani rehabilitasi.

Kedua, Hakim tidak memiliki kompetensi menangani perkara penyalahgunaan narkotika namun ditunjuk untuk menangani atau menyidangkan perkara penyalah guna sehingga keputusannya tidak sesuai dengan filosofi dan tujuan penghukuman bagi penyalah guna dan pecandu berdasarkan UUN.

Pertanyaan tentang kompetensi hakim muncul karena banyak hakim tersesat dimana keputusannya mengakibatkan penyalah guna tidak sembuh malah lebih parah, terjadi permasalahan dilapas akibat penyalah guna narkotika di penjara serta menyebabkan suburnya bisnis peredaran gelap narkotika sehingga masarakat menuntut untuk dibentuk pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika secara profesional.

Ketiga, hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna kekurangan fakta hukum dalam persidangan. Hal ini karena:
a. Perkara penyalah guna (kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi sendiri dengan jumlah kepemilikan untuk kebutuhan sehari, gramasinya ditentukan dalam surat edaran MA no 4/2010) yang diajukan jaksa penuntut umum kesidang pengadilan dituntut dengan pasal pengedar, setidak tidaknya pasal komulatif atau pasal subsidiaritas dengan pasal pengedar, bahkan tanpa pasal penyalah guna untuk diri sendiri (pasal 127), tidak ada visum / assesmen yang menyatakan penyalah guna sebagai korban penyalah gunaan atau sebagai pecandu.

b. Perkara penyalah guna yang diajukan ke meja hijau, dikenakan penahanan selama proses penyidikan dan penuntutan karena dituntut sebagai pengedar. Seharusnya tidak menahan, justru wajib menempatkan ke lembaga rehabilitasi. Penegak hukum diberi kewenangan menempatkan penyalahguna kedalam lembaga rehabilitasi dalam proses penyidikan, penuntutan dan perngadilan (PP 25 pasal 13) karena UU Narkotika menjamin penyalah guna direhabilitasi (pasal 4d).

c. Perkara penyalah guna untuk diri sendiri yang sedang disidik dan dituntut dimeja hijau tidak dimintakan visum atau assesmen sehingga tidak menjadi perkara pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika, yang hukumnya wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54) tapi justru menjadi perkara pengedar, ditahan dan divonis penjara.

d. Kekurangan keterangan ahli
Hakim tidak memahami tentang perkara penyalahgunaan narkotika perkara orang sakit adiksi yang diderita penyalahgunaan narkotika maka perlu dibantu ahli sakit adiksi terutama dalam membedakan kadar ketergantungannya , apakah penyalah guna yang sedang diperiksa tergolong mengidap sakit adiksi ringan, sedang dan berat dan berapa lama waktu yang diperlukan bagi seorang terdakwa penyalah guna menjalani rehabilitasi agar dapat pulih seperti sedia kala. Oleh karena itu keterangan ahli mutlak dihadirkan dalam perkara penyalah guna untuk diri sendiri.

Realita prakteknya ada 45 ribu lebih penyalah guna yang berperkara di pengadilan negeri yang dijatuhi hukuman penjara (data ditjend lapas tahun 2018), padahal secara yuridis mereka harusnya mendapatkan hukuman menjalani rehabilitasi agar sembuh tidak menjadi penyalah guna lagi.

Praktek memenjarakan penyalah guna kedalam tahanan / penjara ini sangat merugikan kita semua. Penyalah gunanya sendiri dirugikan karena tidak sembuh dan tetap menjadi penyalah guna meskipun didalam ruang tahanan / penjara.
Keluarga penyalah guna dirugikan karena prosesnya menjadi ambigu, berbelit belit, menguras tenaga dan biaya.

Bangsa dan negara juga dirugikan karena kontra produktif dengan program P4GN. Biaya penegakan hukum termasuk biaya perawatan dan infrastruktur lapas menjadi sangat besar, hasilnya justru membuat penyalah guna berkarier sebagai pecandu, penyalah guna tumbuh subur, demandnya juga tumbuh subur yang berarti pengedar narkotika yang diuntungkan.

Oleh karena itu Mahkamah Agung harus meningkatkan profesioalisme para hakim khususnya hakim pengadilan negeri dan meluruskan keputusan hakimnya yang melenceng dari tujuan dan asas asas serta ketentuan ketentuan khusus dari UU Narkotika, karena malpraktek penjatuhan hukuman terhadap perkara penyalah guna narkotika oleh hakim pengadilan negeri menjadi bencana bagi kita. Kalau hakim pengadilan negeri menjatuhkan hukuman penjara bagi penyalah guna maka akan menjadi masalah hukum yang sulit diperbaiki, hanya menghasilkan nestapa dan melanggengkan sakit adiksi yang diderita penyalah guna.

Konsultasi dapat melaluinya wa no 08111285858

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *