Modus Pembahasan UU Diakhir Masa Jabatan DPR

Dr Anang Iskandar
Aktivis Anti Penyalahgunaan Narkotika

Tugas DPR bersama presiden adalah membentuk UU, namun kalau pembahasannya dilakukan diakhir masa jabatan maka akan timbul banyak kecurigaan.

DPR periode 2014 -2019 sekarang ini diakhir masa jabatannya membahas RUU KUHP dan RUU KPK.

Kedua RUU tersebut dicurigai sebagai UU titipan dan pembiayaan dari fihak tertentu, dimana rumasan pasal pasalnya menguntungkan fihak tertentu tersebut.

Jangan heran kalau terjadi ribut terus dan terjadi penolakan dengan demo besar besaran

Modus pembahasan diakhir jabatan ini beresiko juga pada implementasi substansi undang undangnya.

Contoh kongkrit adalah proses pembentukan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang dibahas dan diputuskan juga menjelang berakhirnya masa jabatan DPR masa bhakti 2004 – 2009.

Dari segi yuridis UU narkotika tergolong UU yang modern, Up to date, fleksibel mengikuti perkembangan jaman karena pengawasan pelaksanaannya hanya difahami DPR yang membentuknya akibatnya UU narkotika dianggap UU ambigu, tidak tegas, ujung ujungnya minta dirubah.

Setelah DPR yang membentuknya selesai masa tugasnya, DPR yang dilantik tidak memahami sustansinya sehingga praktis pengawasan pelaksanaan UU berjalan tidak sesuai substasi UU narkotika.

Politik hukum negara secara jelas tercantum dalam tujuan dibuatnya UU narkotika bahwa negara menjamin penyalah guna mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Politik hukum ini hanya difahami oleh DPR yang membentuknya, DPR yang sedang bertugas tidak memahami politik hukum tersebut.

Akibatnya implementasinya melenceng penyalah guna dijatuhi sanksi penjara, padahal penyalah guna adalah tersangka / terdakwa sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan.

DPR yang sedang bertugas tidak banyak berbuat, entah apa alasan kok tidak banyak berbuat, apa tidak mengerti tentang substansi UU narkotika atau menggangap wajar kriminal dipenjara meskipun sakit.

Akibatnya penjara dipenuhi oleh para penyalah guna narkotika dengan dakwaan sebagai pengedar dan diberikan sanksi penjara.

Sekarang ini jumlah penyalah guna yang dipenjara berdasarkan keterangan ditjend lapas jumlahnya mencapai sekitar 42 ribu orang. Jumlah yang sangat besar, merugikan kita semua.

Mestinya DPR yang membentuk, DPR pula punya otoritas pengawasan tertinggi untuk mengontrol berjalannya UU.

Mestinya paling tidak bertanya, Kenapa penyalah guna dijatuhi sanksi dipenjara apalagi jumlahnya sangat besar ?

Jawaban pertanyaan tersebut karena tidak ada pengawasan terhadap penerapan ketentuan UU narkotika yang tidak sesuai ketentuan dan belum pernah dikoreksi yaitu :

1. Pendekatan kesehatan.
Bahwa UU narkotika dibentuk atas dasar pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan.

Pendekatan hukum bagi para pengedar pengedar narkotika dan pendekatan kesehatan bagi penyalah guna narkotika.

2. Tujuan UU narkotika
Tujuan dalam menangani pengedar diberantas sedangkan dalam menangani penyalah guna dijamin untuk mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (baca pasal 4 tujuan dibuatnya UU)

3. Misi penegak hukum.
Misi penegak hukum bersifat represif dalam menangani pengedar dan rehabilitatif dalam menangani penyalahgunaan narkotika.

Misi rehabilitatif ini merupakan hal baru, belum difahami oleh penegak hukum dalam menangani perkara penyalah guna sehingga banyak penegak hukum yang main tahan dan main sanksi penjara.

4. Kewenangan hakim mutlak.
hakim diberikan kewenangan mutlak atau absolut “dapat” menjatuhkan sanksi rehabilitasi meskipun terbukti bersalah. Dan menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti tidak bersalah (pasal 103/1).

Untuk itu perlu dihadirkan seorang saksi untuk memberikan keterangan ahli bahwa tersangka atau terdakwa dalam keadaan ketergantungan dan gangguan mental kejiwaannya serta tersangka / terdakwanya berperan sebagai pengedar atau tidak terlibat sebagai pengedar.

Ini penting bagi proses pembuktian meskipun pembuktian perkara penyalahgunaan nakotika itu mudah.

Sanksi rehabilitasi statusnya sama dengan sanksi penjara (pasal 103/2)

5. Penyidik, penuntut umum dan hakim juga diberi kewenangan untuk menempatkan tersangka / terdakwa kedalam lembaga rehabilitasi (sebagai gantinya menahan) selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan berdasarkan PP no 25 / 2011 pasal 13.

Status penyalah guna adalah “ditempatkan dilembaga rehabilitasi” bukan ditahan atau dibantarkan.

6. Kejahatan penyalahgunaan narkotika adalah kejahatan sumir.
Penyalah guna narkotika dipastikan mengakui perbuatannya, barang buktinya ada, jumlahnya terbatas untuk pemakaian sehari, saksi penangkapnya juga ada, keterangan ahli juga mudah. Pembuktian dipengadilannya juga mudah (baca SE Jaksa Agung no B-029/A/EJP/03/2019)

Sayangnya selama ini, tidak pernah dihadirkan seorang saksi untuk memberikan keterangan ahli bahwa tersangka atau terdakwa dalam keadaan ketergantungan dan gangguan mental kejiwaannya.

Semoga langkah membahas UU diakhir masa jabatan DPR masa bhakti 2014 – 2019 tidak berdampak pada hal yang lebih buruk dan implementasinya tidak bermasalah seperti UU narkotika.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *