Konflik Manusia-Gajah Ancam Gajah Sumatera Punah

JAMBI.KABARDAERAH.COM – Konflik antara manusia dan gajah di Provinsi Jambi masih saja terjadi. Akibatnya, populasi gajah di Sumatra terutama di Provinsi Jambi menyusut drastis.

Bahkan, Gajah Sumatera yang mempunyai nama ilmiah Elephas Maximus Sumatranus ini merupakan satwa endemik yang dilindungi di Indonesia dan masuk dalam daftar merah International Union and Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa terancam punah.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam dokumen Rencana Tindakan Mendesak (RTM) Populasi Gajah Sumatera 2020-2023 memperkirakan saat ini populasi gajah yang masih bertahan di sepanjang Sumatera adalah berkisar jauh dibawah 1.694 individu.

Bahkan, kantong gajah di Kabupaten Tebo, Jambi memiliki jumlah kematian gajah yang lebih tinggi dibandingkan lokasi lain di Provinsi Jambi, terutama karena kondisi kritis beberapa kelompok gajah dan konflik berkepanjangan perebutan ruang dengan manusia.

Edi Mulyono adalah satu dari warga Desa Muara Kilis yang sejak Juni 2019 lalu bergabung dengan Masyarakat Mitra Konservasi (MMK) dalam binaan Hefa Edison Kepala Resort Tebo SKW II BKSDA Jambi mengaku baru mengerti betapa pentingnya berbagi ruang secara harmonis dengan satu mahluk megaherbivora ciptaan Tuhan ini.

“Kalau petani memanfaatkan kawasan hutan negara tanpa ijin, baik itu dalam hutan produksi maupun kawasan Taman Nasional berarti jangan marah jika gajah masuk ke lahan garapannya, lagi pula gajah tidak akan menyerang manusia disaat tidak merasa terancam,” tuturnya.

Kepala Resort Tebo SKW II BKSDA Jambi, Hefa Edison menyebutkan bahwa Edi dan semua anggota MMK yang berjumlah 60 orang merupakan masyarakat asli dari 6 desa di bentang alam Bukit Tigapuluh, yaitu Desa Pemayungan, Desa Semambu, Desa Muara Sekalo, Desa Suo Suo Kecamatan Sumay dan Desa Muara Kilis, Desa Lubuk Mandarsah Kecamatan Tengah Ilir, Provinsi Jambi.

“Pastinya, keterlibatan MMK ini sudah tentu sangat membantu kegiatan mitigasi konflik dengan gajah maupun dengan harimau dan beruang madu. Dan semuanya ini tidak terlepas dari kata kunci negara hadir di tengah-tengah masyarakat,” tuturnya.

Dia juga menambahkan Edi dan personel MMK secara mandiri sudah terlatih melakukan patroli dan monitoring gajah, awareness dan berkoordinasi dengan tokoh masyarakat serta manajerial PT WKS serta perusahaan lainnya dibentang alam Bukit Tigapuluh, Jambi.

“Terbukti saat ini, petani yang lokasi kebunnya berada di areal perlintasan gajah maupun sekitarnya sudah mulai merubah pola tanam dari tanaman , seperti pinang, kopi dan karet, jeruk walau pun di makan gajah tetapi tidak terlalu di sukai oleh gajah,” terang Hefa.

Terpisah, Syamsuardi seorang pakar yang sudah lebih dari 30 tahun mencicipi pahit asinnya mitigasi konflik antara manusia dan Gajah Sumatera, menitikberatkan akan prinsip berbagi ruang antara aktivitas manusia dengan hidupan gajah di alam.

“Masyarakat hukum adat ini baik masyarakat Melayu dari desa setempat, Talang Mamak Simerantihan dan Orang Rimba sangat paham akan kearifan lokal. Mereka tau persis bagaimana harus menghormati keberadaan gajah di alam dan memiliki hubungan spiritual dengan hutan Bukit Tigapuluh yang dihuni sedikitnya 300 ekor gajah liar,” terang Syamsuardi.

Syamsuardi menyebutkan sejak beberapa tahun lalu banyak pendatang dari luar desa penyangga Bukit Tigapuluh yang membuka lahan garapan baru tanpa ijin di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung maupun Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Tanaman pioneer, sawit maupun karet muda dibukaan lahan baru dalam kawasan hutan terutama yang dekat dengan sumber air akan menjadi destinasi terfavorit baru bagi satwa gajah dan kawanannya.

“Jika gajah sudah masuk ke lahan garapan ilegal ini, maka sudah dipastikan statusnya adalah bukan konflik, dan pendekatannya adalah penegakan hukum. Hal ini pun semakin memperjelas bahwa tidak boleh ada aktivitas perambahan di lokasi tersebut,” tegasnya.

Hal ini juga diamini oleh Aswar Hadhibina Nasution petugas medis satwa yang beberapa kali sigap mengantar beberapa ekor gajah jinak dari Riau saat membantu evakuasi gajah liar di bentang alam Bukit Tigapuluh, Jambi.

“Terkadang beberapa petani pendatang yang notabene-nya adalah perambah sambil melotot selalu melontarkan ancaman verbal yang dapat membahayakan keselamatan gajah yang masuk ke lahan rambahannya. Guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sangat arif jika MMK, peneliti dan perusahaan setempat membuat catatan kronologi yang diteruskan BKSDA Jambi dan Balai Gakkum Seksi Wilayah II Mako Jambi,“ timpalnya

Terkait dengan penyelesaian konflik tenurial antara masyarakat dengan perusahaan yang mayoritasnya adalah bukan penduduk setempat sekaligus mengurangi interaksi negative mereka para penggarap dengan gajah liar, ada satu konsep menarik yang diterapkan oleh Sakimin dan Tim Forest Protection Head PT Tebo Multi Agro (TMA) yang dapat diadopsi oleh perusahaan lainnya, yaitu system HTPK (Hutan Tanaman Pola Kemitraan).

“Fokus kemitraan ini adalah melalui kesepakatan antara perusahaan sebagai pemegang ijin konsesi dengan masyarakat yang berada di areal okupasi, dengan pola 70 persen dari luasan areal okupasi tersebut dijadikan HPTK dan 30 persen areal okupasinya akan dibina oleh perusahaan sebagai lahan pertanian yang ramah dengan konservasi gajah dan lingkungan,” terang Sakimin.

Nor Qomariyah Forum Facilitator dari PKBT (Platform Konservasi Bukit Tigapuluh) sekaligus Project Officer KKI Warsi memiliki pandangan menarik juga terkait interaksi penggarap lahan dan gajah.

“Pada dasarnya ini juga harus dilihat dari pandangan, persepsi masyarakat melihat gajah dan habitatnya, lalu kesesuaian tanamannya, seperti tanaman padi, pisang, bahkan karet usia mudapun sangat disukai gajah. Tanaman karet mereka (Gajah-red) gunakan untuk penggaraman,“ tutur Nor Qomariyah yang akrab disapa Qoqom.

Ditambahkan qoqom bahwa harus ada tanaman alternatif yang bernilai ekonomi tinggi sebagai tanaman pengganti komoditi yang mereka tanam seperti kopi, lemon, coklat ini tidak disukai gajah.

“Selain itu juga harus dipetakan karakteristik sosial-ekonomi-masyarakat yang ada di sekitar area habitat gajah. Di kawasan TN Bukit Tigapuluh dan areal penyangganya sendiri kita lihat justru koridornya mulai rusak, tidak pada semestinya dan gajah justru berada pada area hutan tanaman dan hutan produksi lainnya. Menariknya ini tentu memerlukan sinergi berbagai pihak dan dukungan dari berbagai stakeholder,” imbuhnya.

Qoqom memberikan saran solusi akan upaya yang bisa kita lakukan bersama adalah: 1) Social mapping mulai dari karakteristik, ekonomi, sosial, sejarah keberadaan atau tipologi keterkaitan antara manusia/masyarakat yang ada dalam koridor habitat gajah, 2) Persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang gajah dan komoditi pertanian, 3) pemahaman terhadap jalur koridor, 4) pengetahuan tentang mitigasi dan bagaimana memitigasi gajah sesuai dengan koridor melalui kesepakatan bersama antar pihak, 5) memetakan area-area penting dimana letak atau lokasi penempatan gajah (tempat penggiringan), area perkebunan, pemukiman hingga area pertemuan antara gajah dan manusia 6) alternatif ekonomi melalui pertanian yang sustainable menjadi sangat penting dan masyarakat juga harus diedukasi untuk mengalokasikan tanaman pangan bagi si gajah, satwa mahluk ciptaan Tuhan.

“So sama-sama hidup berdampingan dengan damai, gajah punya rumah, punya tempat makan, punya tempat main dan manusia sebagai petani juga bisa menanam tanaman dengan aman dan sustainable,” tukasnya.

Untuk diketahui, data KLHK dan Forum Konservasi Gajah Indonedia/FKGI menyebutkan populasi Gajah Sumatera menurun drastis hingga 70 persen dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir.

Berikut data Gajah Sumatera per tahunnya:

2007: 2400-2800 individu

2013 minimum 1970 individu

2014 minimum 1724 individu

2015 minimum 1611 individu

2017 minimum 1706 individu

2019 minimum 1609 individu

2020 berkisar diantara 728 – 1379 individu

 

(azhari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *