OPINI  

Durian

Oleh: Musri Nauli 

Rasa-rasanya mau tertawa melihat Al Haris, Gubernur Jambi Mampir membeli durian. Usai melihat Tanah Pemprov Jambi di wilayah Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Muara Jambi.

Turun dari mobil, Al Haris bersama rombongan langsung menyantap buah durian di tempat pedangang itu. Seketika suasana di sana tampak berbeda saat Gubernur Jambi, Al Haris menyantap buah durian. Al Haris pun tampak menikmati durian tersebut.

Saat makan durian pun, ada seorang ibu mengendong anak yang ingin membeli durian, Al Haris pun langsung menawari dan menyebutkan kepada ibu itu cara memilih durian yang bagus.

“Pilih durian itu biar kecil asal manis,” cetus Al Haris kepada ibu itu sambil tertawa.

Sebagai “orang dusun” dan dibesarkan di kampung, durian adalah salah satu kenikmatan yang tidak dapat digantikan rasa dan suasananya.

Buah durian yang dikenal sebagai simbol makanan mewah adalah makanan yang tidak mungkin dilewatkan masyarakat Melayu Jambi. Suasana apapun akan terhenti apabila adanya buah durian.

Durian bahkan dapat dibuatkan tempoyak. Tempoyak sering juga disebutkan asam durian. Makanan yang dilengkapi dengan ikan patin dan dibuatkan santan dikenal sebagai makanan yang dihidangkan untuk para raja.

Sehingga tidak salah kemudian apabila orang makan tempoyak, suasana sekeliling tidak begitu terasa.

“Mertuo lewat, Awak dak nengok, bang”, kata seorang teman. Memberikan perumpamaan apabila Sedang makan tempoyak.

Sebagai makanan mewah, simbol durian sering disebutkan didalam seloko Jambi. Sebagaimana disampaikan oleh Abdullah Sani (Yai sani) ketika penutupan debat kandidat Wakil Gubernur “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”. Atau dalam filosofi Jawa “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”.

Makna “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”.

Musim durian tahun ini mulai menampakkan hasilnya. Setelah 2 tahun berturut-turut gagal panen. Musim durian adalah “lambang” alam semesta yang merestui kelahiran dan kepemimpinan dari daerahnya.

Tidak perlu diceritakan tentang durian. Tanaman yang hidup apabila ekosistem dan lingkungan sempurna di negara tropis.

Bersama-sama dengan madu, Harimau, durian adalah lambang lengkapnya ekosistem. Ekosistem alamiah yang tidak perlu diatur oleh manusia. Tidak setiap tempat dapat menghasilkan durian. Dan tidak setiap waktu “rekayasa” dapat dilakukan untuk menghasilkan durian.

Durian adalah musim tanda “ekosistem” berjalan baik. Sempurna dan lengkapnya sebuah eksosistem suatu tempat. Sebagai tanda “peradaban” dan penghormatan manusia kepada alam sekitarnya.

“Buah pangkal” sebagai perumpamaan penghormatan jatuhnya buah durian pada pangkal musim durian yang merupakan “jatah” dari sang Raja Hutan. Buah pangkal adalah durian yang menjadi “hak” raja hutan.

“Tidak boleh diambil” bisik pemangku adat sembari menyebutkan “puyang” yang menguasai tempat di daerah itu. Sebagai tanda, Manusia adalah bagian dari sekrup kecil dari ekosistem lingkungan yang berkaitan satu dengan yang lain. Dan keesokan harinya, buah yang yang telah dibuka, rapi membukanya, rapi menyusun buah durian yang telah dimakan sebagai bentuk “Raja hutan” telah memakan buah pangkal.

“Durian Dak boleh ditutu”. Sebuah seloko yang menempatkan “batang durian” tidak boleh dipanjat. Menempatkan durian yang jatuh dari pohon adalah buah durian yang memang baik dimakan.

Pohon durian tidak boleh ditebang. Sebuah penghormatan kepada “keramat” pohon durian. Apalagi pohon durian yang ditanami “puyang”. Pohon durian ditanami puyang adalah buah durian yang diberikan kepada anak cucu. Siapapun boleh menikmati hasilnya. Namun pohon durian tidak boleh ditebang. “Durhako” kata sang pemangku adat.

Pohon durian disejajarkan dengan “pohon sialang”. Pohon yang dihinggapi lebah. “Sialang pendulangan” dalam seloko Marga Pemayunanga. Bukan hanya pohon sialang yang tidak boleh ditebang. Tapi “pendulangan” adalah daerah sekitar “tumbuhnya pohon sialang” yang tidak boleh ditebang. Lebah akan hinggap di pohon yang kemudian disebut “pohon sialang’. Daerahnya harus mendukung hidupnya lebah. Daerah ini yang kemudian disebut “sialang pendulangan’.

Menempatkan durian dan madu dalam ekosistem lingkungan yang lengkap adalah symbol penghormatan manusia kepada alam. Dan alam tidak pernah berbohong. Alam kemudian merestuinya dengan “menghasilkan durian dan madu” yang bisa dinikmati manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *