Teka-teki Putusan Hakim Terhadap Penyalahguna Narkoba, Penjara atau Rehabilitasi?

DR Anang Iskandar

Putusan hakim di meja hijau terhadap kejahatan penyalahguna narkotika menjadi sorotan masyarakat. Kenapa? Karena di satu sisi ada yang dijatuhi hukuman penjara disisi lain ada yang dijatuhi hukuman rehabilitasi, lho kok bisa?

Nyatanya, sebut saja dua pilot Lion yang terkena penyalahgunaan narkotika ditangkap BNN didua tempat berbeda beberapa tahun lalu, di pengadilan Surabaya dihukum penjara, sementara di Makasar dihukum rehabilitasi.

Masih ada sederet nama beken seperti Ridho Rhoma, Iwa K , Ello, Restu Sinaga yang diputus pengadilan Jakarta Selatan dengan hukuman rehabilitasi. Disisi lain lebih dari 15 ribu penyalahguna yang dihukum penjara yang saat ini mendekam di lapas .

Menurut klasifikasinya Undang-undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah Undang-undang “khusus” yang menyimpang dari sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia dan bersifat Lex Specialis Derogat Lex Generalis. UU ini menganut Double Track System pemidanaan penyalahguna dijatuhi hukuman rehabilitasi sedangkan pengedar dihukum penjara/mati.

Karena kekhususnya dan menganut double track sistem pemidanaannya maka kejahatanpun dibagi menjadi 2 katagori sesuai dengan track nya masing masing.

Pertama : Kelompok penyalahguna. Termasuk kelompok ini adalah mereka yang membawa karena membeli untuk dikonsumsi, mereka tidak mendapatkan keuntungan dari bisnis narkotika, jumlahnya tidak banyak untuk pemakaian sehari.

Menurut Victimologi, mereka adalah koban kejahatan narkotika termasuk kelompok ini sebagai demandnya bisnis narktika adalah penyalahguna untuk diri sendiri, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu.

Kedua : Kelompok pengedar yaitu mereka yang mendapatkan keuntungan dari bisnis narkotika. Mereka membawa narkotika dalam jumlah besar, kelompok ini sebagai suppy dari bisnis narkotika yang harus diperangi, mulai dari pengecer, kurir, bandar, distributor, produsen , ini yang harus dihukum penjara/mati.

Disini berlaku hukum ekonomi bagi bisnis narkotika, kalau kita berharap bisnis narkotika tidak membesar  “menurun” maka demandnya harus di tekan agar suppynya menurun. Kalau kita ingin bisnis narkotika  “bangkrut”  maka demand harus lebih dulu ditekan dan suppynya juga harus ditekan habis.

Karena sejak lahirnya UU Narkotika kita dalam membedakan kedua kelompok tersebut hanya melalui pasal tujuan, maka dikeluarkanlah petunjuk berupa surat edaran oleh Mahkamah Agung untuk membedakan kedua kelompok tersebut agar lebih jelas bagi hakim mana yang harus dihukum penjara dan mana yang wajib direhabilitasi.

Dimana indikator penyalahguna adalah apabila jumlah barang buktinya yang ditemukan padanya “sedikit”, dibawah jumlah gramasi yang ditentukan dalam surat edaran Mahkamah Agung, barang bukti tersebut digunakan untuk dipakai sendiri, tidak untuk dijual, yang begini masuk indikator kelompok penyalahguna .

Sebaliknya apabila jumlah barang bukti “besar” diatas surat edaran Mahkamah Agung dan barang bukti tersebut untuk dijual/mendapatkan keuntungan maka masuk kelompok pengedar .

Berdasarkan UU tersebut diatas, hakim diberi kewenangan tambahan secara khusus dalam memeriksa perkara pecandu (perkara penyalahguna dalam keadaan ketergantungan) “dapat” memutuskan untuk memerintahkan menjalani rehabilitasi jika terbukti bersalah dan menetapkan untuk memerintahkan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah (pasal 103), artinya terbukti atau tidak dalam sidang pengadilan, hukumannya rehabilitasi .

Kewenangan tersebut diatas bukan berarti bisa dapat bisa tidak digunakan dalam memutuskan perkara pecandu tetapi “dapat” ini artinya kewenangan tambahan yang diberikan oleh UU “khusus” yang sifatnya wajib karena pasal 127 ayat 2 berbunyi ; hakim dalam memeriksa perkara penyalahguna untuk diri sendiri (pasal 127 ayat 1) wajib memperhatikan pasal 54, 55, 103,  yaitu pasal-pasal tentang rehabilitasi.

Kewenangan tambahan dapat memutuskan untuk memerintahkan melakukan rehabilitasi dan menetapkan untuk memerintahkan rehabilitasi ini berasal dari konvensi tunggal narkotika beserta protokol 1972 yang mengubahnya kemudian diadopsi oleh pemerintah melalui UU No 8 tahun 1976 yang menjadi dasar UU Narkotika kita saat ini .

Mengapa hakim wajib menghukum rehabilitasi terhadap penyalah guna :

Pertama : Amanat UU No 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1971 yang telah diamandemen dengan protokol 1972 yang menjadi dasar dibuatnya UU Narkotika kita, dimana terhadap penyalahguna diberikan alternatif penghukuman rehabilitasi untuk menekan bisnis narkotika secara universal.

Kewenangan merehabilitas ini diberikan kepada penegak hukum khususnya hakim berdasarkan pasal 103 UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika sedangkan penyidik dan penuntut umum serta hakim juga diberikan kewenangan menempatkan ke lembaga rehabilitasi dalam proses pertanggung jawaban pidana sesuai tingkat pemeriksaannya berdasarkan turunan UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu PP 25 tahun 2011.

Kedua : UU secara tegas menjamin penyalahguna direhabilitasi. Tujuan UU Narkotika yang berlaku saat ini menyebutkan secara khusus :  “mencegah melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu” artinya penegak hukum khususnya hakim dalam melaksanakan tugasnya harus mengacu pada tujuan yaitu “menyelamatkan” dan “menjamin” rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika .

Ketiga : Penyalahguna itu adalah kriminal sekaligus orang sakit mengidap penyakit adiksi/kecanduan yang hanya pulih/di stop apabila direhabilitasi.

Berdasarkan UU rehabilitasi penyalahguna ini menjadi domainnya kementrian kesehatan untuk rehab medis, kementrian sosial untuk rehab sosial dan Badan Narkotika Nasional untuk rehab medis dan rehab sosial.

Dititik ini mestinya anggaran negara digunakan oleh pelaksana fungsi rehabilitasi penyalahguna yang bermasalah dengan hukum agar mereka pulih dari jeratan narkotika, digunakan untuk biaya menghukum penjara .

Keempat : Perkara penyalahguna adalah perkara pecandu apabila dimintakan asesmen/diperiksa oleh tim asesmen/dokter ahli (visum et repertum), dimana menurut pasal 54 UU Narkotika kita wajib direhabilitasi baik bagi penyalahguna yang bermasalah dengan hukum maupun yang ingin sembuh secara mandiri.

Itulah sebabnya kenapa hakim diberi kewenangan tambahan yang bersifat wajib untuk menghukum rehabilitasi terhadap penyalahguna, baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah dan orang tua penyalahguna diancam hukuman pidana apabila tidak melapor kepada institusi penerima wajib lapor untuk disembuhkan.

Kelima : Hukuman rehabilitasi sama dengan hukuman penjara (pasal 103 ayat 2) menurut konvensi tunggal narkotika yang sudah diamandemen ; hukuman rehabilitasi lebih bermanfat bagi penyalahguna, keluarga, bangsa dan negara-negara di dunia dari pada hukuman penjara.

Dimana hukuman penjara bagi penyalahguna tidak menyembuhkan, masyarakat dirugikan secara spritual dan material, negara akan menghasilkan generasi tidak sehat terus menerus secara sistemik, menyebabkan suburnya bisnis narkotika.

Secara empiris faktanya ada teka-teki di masyarakat tentang keputusan hakim dalam menjatuhkan keputusan terhadap penyalahguna, banyak yang dihukum penjara sehingga memenuhi lapas di seluruh Indonesia.

Disisi lain ada juga yang dihukum rehabilitasi khususnya perkara yang jadi perhatian masyarakat sebut diatas, sehingga timbul pertanyaan kenapa keputusan hakim terhadap penyalahguna narkotika berbeda?

Padahal amanat undang-undang narkotika kita hukumnya wajib bagi hakim memutuskan hukuman rehabilitasi baik terbukti salah atau tidak terbukti bersalah di pengadilan.

Hukuman rehabilitasi itu merupakan bagian dari hak asasi manusia untuk kesembuhan kembali dari penyakit ketergantungan narkotika dan mendapatkan derajat kesehatan yang memadahi sesuai yang digariskan pemerintah.

Kita berharap kedepan para hakim menghukum penyalahguna dengan hukuman rehabilitasi sesuai dengan tujuan dan kewenangan hakim yang diberikan UU Narkotika kita.

Dengan begitu perang kita melawan narkotika dalam kondiri darurat ini dapat berhasil gemilang dengan stategi sudah digariskan pemerintah melalui UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dimana penyalahguna narkotika dihancurkan dengan senjata rehabilitasi, pengedarnya di perangi dengan dihukum berat/mati.

Sedangkan masyarakat khususnya kaum mudanya yang belum terlibat masalah narkotika dibentengi dengan tameng pencegahan agar tidak terlibat dengan bisnis narkotika.

Penulis DR Anang Iskandar. Dosen Pidana Khusus Narkotika Universitas Trisakti. Kepala BNN RI (2012- 2015), Kabareskrim (2015-2016)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *