“Ajun Arah”

Oleh: Musri Nauli – Advokat dan Direktur Media Publikasi Haris-Sani

Ketika Al Haris menyebutkan Seloko “Ajun Arah” dalam sebuah acara di Balai Adat Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi, tiba-tiba saya kemudian teringat dengan istilah yang digunakan masyarakat Melayu Jambi.

Istilah “ajun” dan “arah” lebih mudah ditemukan didalam masyarakat Serampas. Didalam Peraturan Daerah Kabupaten Merangin Nomor 8 Tahun 2016, istilah “ajun” dan “arah” menunjukkan proses pemanfaatan tanah.

Tanah Ajun dan “tanah arah” didapatkan setelah ditunjuk berdasarkan hukum adat. Maka tanah kemudian yang telah “ditunjuk” berdasarkan arah telah ditentukan berdasarkan fungsinya. Baik fungsi produksi, fungsi lindung maupun fungsi konservasi.

“Tanah Ajun“ yang telah “tanah arah” tidak dapat berpindah fungsinya. Apabila fungsinya lindung maka tidak dapat digantikan ataupun diubah menjadi fungsi produksi. Begitu juga apabila fungsinya adalah konservansi maka tidak dapat diubah menjadi produksi. Demikian seterusnya.

Pemberian tanah berdasarkan “tanah ajun” dan “tanah arah” adalah memperhatikan ekosistem sekitarnya. Sehingga pemberian tanah berdasarkan “ajun-arah” dapat dikatakan memperhatikan “ulu aik” dan “ngarai” (Pasal 13 ayat (1) Perda No. 8/2016).

Secara umum istilah “ajun-arah” adalah “petunjuk ataupun tuntutan dari para tokoh-tokoh adat didalam memulai kehidupan barunya. Para kepala baru yang hendak memulai kehidupan barunya, memerlukan tuntutan dari tokoh-tokoh adat untuk dapat berladang ataupun kehidupan pertanian didesanya.

Pemberian “ajun-arah” dari tokoh adat diharapkan “tanah” yang diberikan dapat digunakan untuk kehidupannya. Sehingga tidak salah pilih tanah yang diberikan.

Dengan adanya “ajun-arah” diharapkan keluarga yang baru “tidak salah melangkah”. Tidak salah memulai sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Istilah “ajun arah” yang digunakan oleh Al Haris membuktikan “kekayaan” kosakata, seloko yang disampaikannya.

Sebagai Kepala Daerah yang mengusung Perda Masyarakat Hukum Serampas, satu-satunya Perda yang membicarakan masyarakat adat di Provinsi Jambi, Al Haris mengetahui persisi “istilah” ataupun seloko yang digunakan.

Dengan menggunakan “istilah” ajun-arah, maka Al Haris menempatkan diri sebagai anak muda memohon petunjuk kepada tokoh adat.

Sebagai anak muda memulai kehidupan barunya, Al Haris tetap dibimbing, dituntun ketika memulai sebagai Gubernur Jambi.

Dengan demikian maka alam negeri Jambi dapat memayungi dan melindungi rakyat Jambi.

Sebagaimana sering disampaikan tetuah adat “Elok negeri dek orang tuo. Ramai negeri dek anak mudo”.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *