OPINI  

Modernisasi Beragama: Varian Baru dan Turunannya  (Sudah Final atau Masih Mencari-cari Model) 1

Oleh: Adrians Chaththab
(Mantan Manggala Nasional Guru Besar)

I. Kata Pembuka
Hidup bernegara dan bermasyarakat (there is state and nation comunity for citizen acompany are had to be done) adalah tututan anak bangsa. Sejak zaman silam, baik di Yunani kuno dan Romawi sampai dengan masa Islam, istilah negara, bangsa dan masyarakat tak pernah hambar dibicarakan. Plato menyebutnya dengan istilah zoon politicon dan natio ; sementara al-Farabi memperkenalkan ke dunia Islam salah satu bentuk negara idaman / utama yang dinamainya dengan al-Madinah al-Fadhilah / المدينة الفاضلة . Hal itu menunjukkan antusias filosof dan politikus yang tidak pernah kering lidahnya menyuarakan tentang negara, bangsa dan hekekat bernegara bagi satu komunitas. Ibnu Taimiyyah dengan terpaksa menulis artikel saking jengkelnya melihat pemerintahan yang tidak betkeadilan, maka mengeluarkan statement: “ lebih baik di bawah pemerintahan kafir yang adil dibandingkan dengan di bawah pemerintahan muslim yang zalim”, dalam kaitan hubungan agama dengan negara; Jamaluddin al-Afghani mengetengahkan konsep negara berbentuk Pan Islam. Ali Abd. Raziq menulis bagaimana hubungan Islam, agama dan negara di bawah satu nafas yang disebutnya nasionalisme. Fazlurrahman dengan ide ‘ the nation state’. Muhammad Ali Jinnah yang populer dengan teori teodemokrasimya. Muhammad Natsir mengelaborasi berdasarkan kemajemukan di Indonesia melontarkan pemikiran jeniusnya tentang hubungan negara dengan Pancasila berbasis pluraritas agama yang akhirnya melahirkan ‘demokrasi dalam negara pancasila’ yang lazim disebut teodemokrasi/demokrasi yang berketuhanan . Menariknya, teori-teori kenegaraan sebagaimana tersebut di atas tidak ada yang salah dari kacamata teori; akan tetapi ketika dibawa ke tataran implementasi, pro-kontra dan benih permusuhan mulai bersemi. Kenapa? Hal Ini yang menarik untuk dikaji ulang dalam konteks keindonesiaan.

II.Makna Demokrasi dalam Negara Pluralistik
Apapun bentuk negara, kerajaankah apalagi republik, maka kostitusi adalah pengatur jalanya pemerintahan dan perajut hubungan penguasa dengan rakyat dan hubungan sesama warga . Hubungan penguasa dengan rakyat biasanya top down atau button up dan bisa juga bentuk kedua-duanya sesuai dengan porsinya yang telah diatur dengan undang-undang.Maka jadilahah penataan dilaksanakan oleh penguasa eksekutif atas mandat yang diberikan rakyat. Justeru dinamakan juga pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Untul terlaklsananya pemerintahan secara tertata memerlukan perangkat yamg lazim disebut undamg-undamg. Perundang-undangan tata urutnya adalah undang-undang dasat, undang-undang , peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden dan seterusnya ke bawah perundamg-undangan lainnya. Gunanya untuk memberi kebebasan kepada aparat pemetintahan melalukan kepemerintahan beserta rakyat dalam batas-batas kewenangan masing-masing bedasarkan aturan yang berlaku. Dalam bahasa lain kebebasan yang terikat atau kebebasan yang tidak sebebas-bebasnya.Indonesia adalah bangsa multi budaya, bahasa dan adat-istiadat., maka kepengaturannya menjadi komplek dan juga sering konflik.

Dengan demikian, Indonesia mempunyai postur pluralistik. Oleh sebab itu, penangananya serba rumit dengan perangkat mulai dari kepala negara harus orang pilihan yang mepunyai kemampuan ekstra. Begitu juga dengan para menteri dan kepala lembaga dan intitusi lain seharusnya dipegang oleh the right mans on the right place.. Artinya, mereka itu mampu, bermanfa’at serta ta’at asas, tetutama bila dihadapkan dewasa ini dengan moderasi dan toleransi dalam beragama. Bila kepala negara dengan segenap perangkat baik yang hard ataupun yang soft gagal menghadirkan tuntutan itu, maka sulit membayangkan seperti apakah jadinya pemerintahan itu.

II. Agama dan Moderasi
Ketika penulis kuliah di Jakarta 1990-an mederasi dalam beragama hangat sekali dibicarakan , tertuma di kalangan perguruan tinggi. Dialog, perdebatan dan seminar telah menghiasai bahkan makanan harian para praktisi, mahasiswa dan akademisi mencanangkan kesepakatan bersama antar umat beragama. Kesepakatan itu paling tidak ada 3 tataran ‘sakti’ yang menjadi rajutan umat beragama yakni: 1) umat beragama tertentu tidak memaksakan agamanya ke kominitas pengamut agama lain ( لا اكره في الدين
2) tidak dibenarkan menghina satu penganut agama terhadap penganut agama laln; 3) mengurus agama masing-masing. Dalam istilah populernya: ‘sepakat dalam perbedaan’ yang diamanatkan oleh ayat Alqur’an; لكم دينكم ولي دين.

Tanpa mengecilkan tokoh-tokoh yang punya porsi bicara, ada dua tokoh telah mewakili umat beragama dalam deklarasi kerukunan yakni Prof. Dr. A.Mukti Ali dipihak Islam dan Dr.Karel Steenbrink di pihak umat Kristiani. Jadi, mederasi dimaknai dan diartikan seperti tersebut di atas itu. Tiga kesepakatan ini menurunkan 3 kerukunan umat beragama yaitu kerukunanan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Dengan demikian moderasi itu ada batas-batas masing agama yang sakral dan tidak boleh dilanggar yakni masalah yang menyangkut keimanan, ibadah dan hukum agama. Makanya istilah yang tidak dapat dimoderitaskan dalam beragama tidak akan mendapat tempat dalam toleransi. Urut-urut moderasi dalam beragama mengerucut pada istilah-istilah di bawah ini:
* moderasi agama atau moderasi dalam beragama
* moderasi intern umat beragama
*moderasi antara umat beragama
*moderasi antar umat beragama dengan Pemerintah

Akankah moderasi dengan takaran baru ( 4 takaran) dapat diterima oleh semua msyarakat beragama, terutama umat Islam.Bila moderasi berketurunan toleransi bermuara pada kerukunan; justeru di dalam Islam ada domain yang tidak bisa dikompromikan yakni hal-hal yang berkaitan keimanan dan ibadah mahdah dan wilayah hukum yang sudah final dan mutlak. Lain halnya dengan sesuatu yang besifat nisbi dan biasa didialogkan yang sekaligus tidak menciderai keimanan seseorang. Contoh kongkrit adalah menyanyi dalam upacara natal yang merupakan bahagian ibadah yang tentu tidak boleh diikuti oleh si.muslim. Begitu juga, ketika umat Kristiani memproklamasikan bahwa Isa adalah anak Tuhan dalam upacara itu, sekalu-kali umat Islam tidak boleh ikut-ikutan. Karena hal itu bila dilakukan umat Islam berarti ia menampar mukanya sendiri yang meyakini bahwa Tuhan tidak pernah punya anak dan keturunan seperti yang tercantum dalam surat al-Ikhlash, ayat kursi dan ayat lain yamg menunjukkan bahwa Tuhan itu, esa seesa-esanya/ تنزيه الصفة والذات

III. NKRI Berbasis Agama, Toleransi dan kerukunan
Moderasi adalah saudara kembar toleransi. Paling tidak kedudukanya mempunyai hubungan yang saudara tertua dan yang kedua adiknya. Bila moderasi dalam beragama terciptanya dengan baik, maka toleransi akan muncul dengan sendirinya dan selanjutnya kerukunan akan tetbina.Akan tetapi akhir-akhir ini muncul 4 pilar sebagai alat ukur toleransi. Artinya bila keempat bisa dijankan berarti toleransi sudah baik. Keempat itu adalah sebagai betikut.
4 pilar baru toleransi sebagai pondasi moderasi: cinta tanah air ( NKRI), bertoleransi tinggi, anti kekerasan, cinta budaya lokal. Ini bentuk baru pula dari moderasi. Tri Kerukunan sudah final pada masa orde baru dan orde reformasi. Kok ada lagi takaran baru. Bisa menguatkan yang sudah ada. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi tumpang tindih atau tambal sulam yang membingungkan masyarakat. Seakan-akan ada proyek baru dengan anggaran pantastik, tapi hasilnya tidak seberapa, kecuali menambah pusimg umat beragama. Artinya: “tidak beranjak lenggang di ketiak”.

Apa kurangnya yang diimplementasikan berpuluh-puluh tahun, kemudian ‘dikacaukan’ oleh takaran baru ini. Pertanyaan yang muncul adalah apakah moderasi itu ‘jalan’ untuk mencapai tujuan atau ’tujuan’ itu sendiri. Kalau dimaknai sebagai jalan tentulah ia sama kedudukannya cinta tanah air, anti kekerasan, punya toleransi tinggi dan cinta budaya lokal. Tidak mungkin mencapai alat dengan alat. Seharusnya moderasi adalah alat, sedangkan tujuannya adalah kerukunan, toleransi dan NKRI.

Makanya kerukunan umat beragama dapat dicapai dengan moderasi dalam beragama, bertoleransi sesuai dg norma yang disepakati umat beragama dan dengan mengwujudkan NKRI. Kalau begitu tidak ada sesuatu yang baru dengan 4 pilar moderasi beragama yang sudak clear dan clien semasa Prof. Mukti Ali dan Dr. Steenbrink pada masa orde baru dan sudah pula digodok oleh para ahli di BP-7 ( Badan Pembinaan, Penyuluhan Penyelenggaraan Pengamalan Pancasila ) tahun 80-an s/d 90-an. Dengan demikian, 4 pilar/indikator tersebut di atas tidak memberikan masukan baru bagi yang sudah pernah ada sebelumnya. Bahkan bila kita tidak berlebihan menilaimya, maka butir-butir dalam P-4 jauh lebih sempurna. Justru, pada masa Orde baru polemik dan konflik umat beragama tidak seperti sekàrang, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali dengan terpola dan terlaksananya tri kerukunan dengan baik. Hanya saja, P-4 bukan tanpa cacat. Terlalu banyak pecahan yang merupakan uraian dari Pnancasila itu, maka antara satu butir dengan butit lainnya menjadi kabur ( absurd ) sakig detail dan terurainya.

Menurut hemat kami, moderasi dalam pelaksanaan yang pernah ada dan belum ada SK pencabutannya yakni moderasi pada lingkaran: 1) kerukunan intern umat beragama; 2) ketukunan antara umat betagama; 3) kerukunan umat beragama dengan pemetintah. Dengan demikian bahwa kerukunan intern itu mengandung arti sesama intern umat betagama. Artinya pebinaan kerukunan antara penyandang mazhab dan sekte dalam masimg umat beragama. Misalnya di bidang teologi ada kerukunan intern al-Asy’ari, Mu’tazila dan Maturidiyah dan seterusnya. Di bidang fikih harus ada pembinaan kerukunan antara Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah. Di bidang tasawuf ada pula aliran-aliran tradisional, aliran rasional/ falsafi. Begitu juga di bidang filsafat dan seterusnya.

Pada agama selain Islam juga ada yang demikian. Di dalam Katholik dan Protestan tidak terelakan hal demikian yg sudah hidup berabad-abad di kalangan masyarakatnya. Tidak berbeda ñdengan pemeluk Hindu dan Budha. Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah kerukunan antara umat beragama. Ya ng dimaksud adalah antara pemeluk Islam dengan Kristen; antara pemeluk Hindu dan Budha dengan Islam dan pemeluk agama lain pada domain-domain yang tidak tabu bagi masing-masing agama sebagaimana hal-hal yang tersebut di bawah ini.

Membangun jembatan dari istiqlal ke katederal dengan maksud saling menghormati dengan saling mngunjungi baik hal-hal yamg betsifat ibadah atau lainnya. Akhirnya bisa jadi orang Islam beribadah di katederall dan sebaliknya yang bisa jadi mengarah ke satu bumi, satu langit dan satu agama.
Saling menyampaikan ucapan ‘selamat’, baik yang bersifat teologis, ibadah dan lainnya. Dalam arti tidak ada yang terlarang atau tabu antara sesama umat beragama. Bila hal ini terjadi, maka tidak ada lagi nilai sakral satu agama. Berarti semua agama itu sama. Yang benar adalah semua agama sama-sama agama yang berbeda cara pelaksanaannya. Prof. Dr. Nurcholish Msdjid memberi istilsh dengan pintu-pintu menuju Tuhan. Artinya, cara untuk sampai kepada Tuhan itu, masing-masing

agama mempunysi cara dan keunikannya. Dengan pernyataan bahwa semua agama dinyatakan adalah sama, yang betul adalah semua agama posisinyaa sama2 agama tapi berbeda cara mengamalkannya . Sama2 agama iya akan tetapi masing-masing agama mempunyai sakralitas yg tidak dapat dicampuri oleh agama laun. Manakala konsep ini dipandang betul dan dipraktikan ditengah-tengah masyarakat , pada satu sa’at kita terjerumus pada konsep : “ satu dunia, satu agama, monoteisme berwajah politeisme yang tidak tertutup kemungkinan munculnya penganut-penganut atheisme di Indonesia di masa datang dalam waktu yang tidak terlslu lama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *