Ide ‘Out Of The Box’ Kapolda Jambi: “Primordialisme Kekuatan Masyarakat”

Oleh: Bahren Nurdin, MA
Akademisi UIN STS dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi

Rasanya tidak ada yang akan membantah bahwa terlaksananya pemilihan kepala daerah merupakan tanggung jawab bersama. Masing-masing elemen masyarakat memiliki perannya sendiri-sendiri sesuai kewenangan yang ada pada dirinya.

Begitu juga dengan Kepolisian Daerah (Polda) Jambi yang pada 2018 ini mendapat ‘tugas’ penting bersama-sama penyelenggara, masyarakat dan para penegak hukum lainnya mengawal pemilihan kepala daerah serentak 27 Juni 2018 mendatang. Pilkada damai harga mati!

Pilkada damai adalah impian kita semua. Banyak kekuatan yang bisa dimanfaatkan dengan baik untuk mencapai itu semua. Di Provinsi Jambi, tiga daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun ini adalah Kota Jambi, Kabupaten Kerinci dan Merangin. Masing-masing daerah ini memiliki karakteristik sendiri dengan berbagai keragaman. Beda daerah beda pula keragaman yang dimiliki.

Melihat keberagaman ini, menarik untuk mencermati pemikiran ‘out of the box’ Kapolda Jambi Brigjen Pol Drs. Muchlis As, MH, Dalam berbagai kesempatan jenderal bintang satu ini menyampaikan bahwa ‘primordialisme adalah semberdaya yang dimiliki masyarakat yang jika dikelola dengan baik akan menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan pilkada damai’. Pemikiran ini sekilas terkesan kontraproduktif atau antimainstream karena banyak yang menganggap negatif terhadap isu primordialisme.

Maka ide dan gagasan ini harus dicermati dan dipahami dengan baik agar tidak terjadi salah persepsi. Sebaiknya pahami terlebih dahulu apa itu ‘primordialisme’. Prof. Azyumardi Azra, (guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) pernah merumuskannya pada kolom Opini Kompas 11 Oktober 2016. Menurutnya, ‘primordialisme adalah perasaan intrinsik tentang kebanggaan, dedikasi, serta emosi kuat pada etnisitas dan ras, agama, bahasa, sejarah, dan negara asal sendiri’.

Prof. Azyumardi kemudian membagi primordialisme menjadi dua, yaitu primordialisme keras, (hard primordialism) yang menghasilkan chauvinisme atau sentimen rasial dan etnis berlebihan, seperti Jerman di masa Hitler, dan primordialisme lunak (soft primordialism), yaitu sentimen dan kesetiaan pada ras dan etnisitas, serta agama yang disertai kesadaran tentang pentingnya relasi harmonis dengan sejumlah komunitas. Kelompok primordial terlibat satu sama lain dalam proses negosiasi dan pertukaran bermacam aspek seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Agaknya primordialisme yang ke dua inilah yang sering disosialisasikan oleh Kapolda Jambi bahwa pentingnya membangun relasi yang harmoni dalam perbedaan-perbedaan aspek yang ada di tengah masyarakat tersebut termasuk pilihan politik. Tidak ada yang salah dengan segala perbedaan itu, tetapi bagaimana kemudian perbedaan itu menjadi kekuatan. Seharusnyalah, semakin tinggi primordial seseorang semakin tinggi kecintaannya kepada bangsa dan negara ini. Kecintaanya kepada kelompoknya adalah modal yang kuat untuk mencintai begeri ini. (Hubbul watoni minal iman)

Bahwa di Provinsi Jambi terdapat keragaman suku dan agama adalah sebuah keniscayaan. Maka pemikiran yang ingin dibangun oleh Kapolda Jambi adalah bagaimana masyarakat memanfaatkan ‘sentimen dan kesetiaan pada ras dan etnitas’ yang ada menjadi ikatan yang kuat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan. Masing-masing kelompok saling menjaga kelompoknya tanpa harus menyakiti kelompok lain.

Primordialisme yang perlu dihindari tentunya adalah yang menghasilkan chauvinisme atau sentimen rasial dan etnis berlebihan yang cenderung destruktif. Dalam konteks pilkada, inilah juga yang juga kita kenal dengan politik identitas. Menjadikan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai biang permusuhan satu sama lain. Ini tidak boleh terjadi, lebih-lebih pada tahapan kampanye yang sedang berlangsung saat ini. Tahapan ini sering sekali menjadi tahapan yang krusial karena ada ‘gesekan-gesekan’ berbagai perbedaan dan kepentingan.

Untuk menghindari itu, perlu dibangun primordialisme lembut dan menciptakan harmonisasi antar golongan. Primordialisme yang mengedepankan ikatan kekeluargaan, kesamaan ras, suku dan golongan menjadi fondasi kuat untuk hidup dengan rukun dan damai. Boleh memiliki perasaan intrinsik tentang kebanggaan, dedikasi, serta emosi kuat pada etnisitas dan ras, agama, bahasa sendiri tapi tidak boleh ‘menyakiti’ perasaan orang lain. Sehingga pada akhirnya masyarakat akan mampu menentukan pilihan  pemimpin mereka pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang dengan mengedepankan nilai-nilai primordialisme yang  terkelola dengan baik.

Pemikiran ini tentu juga sangat beralasan, karena sebagai orang Jambi asli, Kapolda juga sangat memahami karakteristik psikologis daerah ini. Sebagaimana diketahui bahwa Kapolda saat ini adalah putra terbaik yang dimiliki masyarakat Jambi di institusi Kepolisian Republik Indonesia. Beliau juga sangat memahami bagaimana sejak lama masyarakat Jambi mampu hidup berdampingan dengan tetap menjaga primodialisme mereka masing-masing.

Akhirnya, banyak orang yang ‘ketakutan’ akan kuatnya primordialisme di tengah masyarakat. Namun, Kapolda Jambi malah melihat itu sebagai suatu kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat sebagai fondasi untuk membangun kebersamaan dan perdamaian. Tidak ada yang salah dengan primordialisme selagi dikelola dan dimanfaatkan secara baik. Pada konteks Priovinsi Jambi, Kapolda tahu betul bahwa masyarakat Jambi sejak lama telah hidup dengan damai dalam ikatan primor yang kuat. Primordialisme yang kuat bisa menjaga keberlangsungan bangsa dan negara ini karena yakinlah tidak ada satu kelompok pun yang ingin negeri ini hancur, bercerai berai. Siap, 86! Selamat bertugas, Jenderal. #BN31217022018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *