Cerdas Membaca Hasil Survey, Jangan Baper

Oleh; Bahren Nurdin
(Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan)

 

Memasuki babak akhir kampanye Pilkada serentak 2020 ini, agaknya saat ini sedang terjadi ‘perang’ hasil survey. Masing-masing paslon merilis hasil survey dari berbagai lembaga dengan klaim kemenangan masing-masing. Tidak ada yang salah. Silahkan saja untuk meyakinkan pemilih. Yang salah kemudian adalah jika hasil survey dijadikan alat untuk menyerang paslon lain dan menimbulkan potensi konflik di tengah masyarakat. Itu tidak benar!

Maka dari itu, masyarakat harus benar-benar memahami apa itu survey dan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi hasil suatu survey. Ada begitu banyak definisi survey yang disampaikan para ahli. Namun secara garis besar, survey dapat diartikan sebagai aktivitas akademis dalam mengumpulkan informasi atau memprediksi suatu keadaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikanya ‘sebagai teknik riset dengan memberi batas yang jelas atas data; penyelidikan; peninjauan’.

Lantas apa saja yang mempengaruhi hasil suatu survey? Pertama, data dan metodologi. Data menyangkut populasi dan sampling. Populasi adalah sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian. Sedangkan sampel adalah bagian kecil yang mewakili kelompok atau keseluruhan yang lebih besar (populasai).

Jadi, jika suatu survey dilakukan dengan jumlah polulasi dan sampel yang berbeda maka hasilnya juga akan berbeda. Begitu juga dengan metode pengambilan datanya terhadap sampel yang dipilih. Jika metodologi pengolahan datanya berbeda maka kemungkinan hasilnya juga akan berbeda.

Kedua, waktu dan tempat survey. Hasil survey itu sangat dinamis. Bisa berubah setiap saat. Dalam konteks Pilkada, survey yang dilakukan bulan lalu akan berbeda dengan bulan ini walaupun dilakukan terhadap sampel yang sama. Banyak factor perubahan itu diantaranya, dinamika politik yang terjadi, sebelum dan sesudah debat, sebelum dan sesudah kampanye tatap muka, dan lain sebagainya. Itulah mengapa lembaga survey selalu mencantumkan waktu pelaksanaan survey.

Begitu juga halnya dengan tempat pengamblilan sampel dari suatu populasi yang dipilih. Dengan pertanyaan yang sama, diajukan di tempat yang berbeda maka hasilnya bisa jadi berbeda. Pertanyaan “menurut pengalaman anda, apakah harimau itu pemangsa manusia?”. Jika pertanyaan ini diajukan kepada penjaga kebun binatang, maka ada kemungkinan mereka menjawab ‘tidak’ karena di kebun binatang harimau selalu dikandang. Tapi bila pertanyaan ini diajukan ke suatu masyarakat di tempat lain, bisa jadi dijawab ‘ya’. Waktu dan tempat menentukan hasil suatu survey.

Ketiga, lembaga survey. Ini menyangkut kredibilitas lembaga. Saya ingin tegaskan, survey itu gawean akademis. Kerjaannya akademis, tapi bisa jadi dikerjakan untuk kepentingan politis. Di sinilah kita akan mengenal ‘survey pesanan’. Suatu lembaga yang dipesan oleh ‘sponsor’ untuk melakukan suatu survey dengan hasil yang diinginkan.

Dalam konteks Pilkada, hal ini mungkin saja terjadi. Tapi tidak boleh digeneralisir. Tidak semua lebaga survey bekerja untuk sponsor. Masih ada yang memiliki idealisme dan mempertahankan kredibilitas lembaga mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas. Di bagian ini, masyarakat diminta untuk cerdas dalam meberi penilaian. Mana lembaga yang benar-benar independen dan mana yang berjibaku memenuhi pesanan sponsor.

Dari penjelasan singkat saya di atas, saya hanya ingin mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu terbawa perasaan alias ‘baper’ dalam menanggapi hasil suatu survey perolehan suara dalam pilkada. Biasa-biasa saja. Begitu juga para Paslon, tidak perlu serang-serangan apa lagi sampai memancing gesekan di tengah masyarkat. Tanggapilah hasi survey itu secara positif. Jika ada lembaga survey yang memprediksi tingkat elektabilitas anda tinggi, syukuri dan pertahankan. Jika masih rendah, maksimalkan usaha untuk mendongkraknya selagi waktu masih tersisa. Lebih-lebih, di last minute seperti saat ini, Paslon harus fokus pada target-target yang hendak dicapai. Terpilih!

Akhirnya, dalam konteks Pilkada, fungsi survey itu adalah alat untuk memprediksi elektabilitas Paslon. Tolong garis bawahi ‘memprediksi’. Prediksi itu bisa benar bisa juga salah dan sangat bergantung kepada faktor-faktor tetentu yang mengakibatkan hasil suatu survey itu sangat dinamis. Jika bigitu, tidak usah ‘baper’ dan jangan terlalu diagung-agungkan. Biasa-biasa saja! Yang penting, Pilkada sehat, aman dan damai sehingga terpilih pemimpin yang legitimit dan berkualitas. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *