OPINI  

Sinergitas APIP DAN APH Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

JAMBI.KABARDAERAH.COM — Korupsi adalah suatu tindakan  yang dilakukan oleh penyelenggara  negara maupun yang bukan pejabat negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Korupsi merupakan kejahatan  serius dan sangat membahayakan kehidupan berbangsa karena dapat menyengsarakan rakyat Indonesia. Di zaman era reformasi yang telah berlangsung di negara ini, kita makin disadarkan betapa pentingnya peran hukum sebagai sarana pengayoman (social defence) dalam mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan bernegara dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik dan ekonomi. Peran hukum sebagai pengayom tercermin melalui fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control), perubahan sosial (social engineering) dan hukum sebagai sarana integratif.

Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih perlu adanya kepastian hukum  bagi penyelenggara negara agar terbangun kerjasama yang saling mendukung juga memberikan rasa aman bagi pemerintah daerah dalam melakukan percepatan pembangunan yang efektif.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 dan UU No. 30 Tahun 2014, Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) menjadi pemegang peran dalam penegakan hukum. APIP memiliki kapasitas dan kompetensi sehingga sedapat mungkin terlibat di dalam penegakan hukum yang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) .

Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi APIP dan APH perlu melakukan sinergi terutama dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang terindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan. Sinergitas peran APIP dan APH sangat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi para penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dan sebagai Supporting Entity yang bertujuan untuk mendukung percepatan penanganan  tindak pidana korupsi, serta mencegah mispersepsi antara kedua institusi tersebut.

Mendagri Tjahjo Kumolo dalam sambutannya pada pertemuan penandatangan Perjanjiann Kerja Sama (PKS) antara Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH), di antaranya Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tanggal 28 Februari 2018 yang lalu menyatakan  latar belakang pentingnya MoU dan PKS ini, di samping mandat dari Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional negara, juga agar tidak terjadi kegamangan penyelenggara pemerintahan daerah dalam bertindak.

Menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 700/8929/SJ, KEP 694/JA/11/2017 , B/108/XI/2017 tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Terkait Penanganan Laporan atau Pengaduan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Inspektorat Kota Jambi telah melakukan  Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kejaksaan Negeri  dan Kepolisian Resort Kota Jambi dengan Nomor : 3/PKS/HKU/2018, B3800/N.510/FT.1/09/2018 dan MOU/18-/IX/HUK.8.1.1/2018 tanggal 25 September 2018 tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Jambi.

Perjanjian Kerjasama ini diharapkan  dapat menjadi pedoman operasional dalam koordinasi untuk mendukung sinergisitas kerjasama diantara para pihak dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintah daerah, agar terwujud pemerintah daerah yang efektif, efisien dan akuntabel dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah.

Mengingat sedemikian luasnya tugas pelayanan publik dan juga menyangkut kepentingan umum maka  perlu adanya aturan yang jelas terkait diskresi atau kerjasama antara APIP dan APH, karena birokrasi pemerintah memerlukan keleluasaan bergerak, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang mendesak, sementara bisa saja aturan untuk itu belum ada atau belum jelas. Sehingga kepala daerah atau pejabat publik tidak diliputi rasa ketakutan dan was-was dalam melaksanakan ataupun merealisasikan program/ kegiatan yang sudah direncanakan. 

Dalam pasal 385 UU Nomor 23 Tahun 2014 diatur bahwa Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara di instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan aparat penegak hukum (APH). 

Setelah penandatanganan  Perjanjian Kerja Sama ini diharapkan  APIP dan APH harus selalu berkoordinasi dalam mengawasi dan menyelidiki para

Aparatur Sipil Negara, yang terindikasi melakukan tindak pidana yang melanggar hukum, dan juga  menindak lanjuti pengaduan masyarakat dimana pengaduan tersebut terlebih dahulu  harus dianalisa, dan tidak serta merta harus di tindak lanjuti, dan itulah fungsi APIP dan APH sebagai pengawasan dan penanganan. Pada Prinsipnya semua laporan masyarakat mesti ditindaklanjuti oleh APIP dan APH, sepanjang data identitas nama dan alamat pelapor serta laporan dugaan tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti bukti permulaan/ pendukung berupa dokumen yang jelas.

Apabila terdapat kerugian keuangan negara/ daerah, ujar Mendagri, namun telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK sifatnya tetap kepada indikasi administrasi.

Dengan adanya Perjanjian Kerjasama ini diharapkan  dapat menjadi pedoman operasional bagi APIP dan APH dalam melakukan koordinasi untuk mendukung sinergitas kerjasama diantara para pihak dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintah daerah, guna terwujudnya pemerintah daerah yang efektif, efisien dan akuntabel dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah.

(Narasumber Auditor Madya Inspektorat Kota Jambi, Sri Ulina, SE)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *