OPINI  

Ketika Ulama Berpuisi: Beralih Profesi?

Oleh: Adrianus Chaththib
(Gubes dan Ketua Senat UIN STS Jambi)

I. Preumble/Pra Kata
Ulama adalah sosok manusia langka; tidak terlalu cinta dunia di ketika umat binaannya sengsara. Sengsara jasmani menurut mereka belum seberapa; akan tetapi tertekan dan terhina batinnya adalah siksaan ruhani yang tiada tara. Terkelupas kulit mencari nafkah soal biasa; lain halnya ketika dicampakkan agamanya sebagai soko guru panutannya, mereka akan sangat menderita. Apalagi kalau kedua-duanya sekaligus dialami ulama, jiwa dan raganya terbebani duka, maka keduanya berontak; tapi apa bisa? Mereka hanya punya seutas firmanNya dan seulas sabda rasulNya.

Jadilah mereka “ bak jatuh ketimpa tangga”. Bukankah double sakitnya? Inilah masalahnya; di dunia menderita dan di akherat nanti akan mendapat siksa pula, karena abai terhadap penista agama dan meninjak-injak firmanNya: (ومن يبتغ غير الاسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخا سرين ( /barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama , maka Dia tidak akan menerimanya; sementara, mereka di akherat nanti menjadi orang yang merugi ( QS, 3 : 85) dan tidak mengindahkan sabda rasulNya:

من وراء منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه ذللك اضعف الايمان ; /

barang siapa yang melihat kemunkaran, hendaklah ia merubahnya dengan kekuasaannya; bila tidak bisa maka rubahlah dengan ceramah; bila juga tak sanggup, maka upayakan dengan sentuhan hati ; itu upaya minimal. Inilah masalah keduanya yang penuh tanda tanya. Artinya, 2 malapetaka umat dan 2 beban berat tersandang di pundak ulama adalah menarik diurai dan dicari solusinya. Justru, ikuti paparan berikut ini.

II. Ada apa itu? atau apa ada itu?
Pertanyaan ini menggelitik di sa’at manusia berlomba mencari dunia, menumpuk harta, memburu kekuasaan; mengenyampingkan keadilan dan bersembunyi di balik ketamakan ; tetapi tetap saja menyuarakan: ‘tegakan keadilan, entaskan kemiskinan dengan merujuk tampak serius di mulut – entahlah di hati — tuntutan UUD 1945: orang miskin dan terlantar dipelihara negara, dan slogan-slogan lain yang ambivalen antara teori dan implementasi. Inilah agaknya yang menjadi kerisauan ulama, maka pertanyaan apa itu ada di negeri yang dipayungi Alqur’an dalam beragama dengan berpanji Pancasila dan UUD ’45 dalam bernegara? Menjawabnya, tidak semudah membuat pertanyaannya. Selanjutnya, pertanyaan: itu ada apa? Lebih sulit lagi menjawabnya. Sulitnya terletak bukan pada asal jawab; akan tetapi jawabannya diiyakan oleh kelompok ini dan dibantah oleh kelompok itu. Makanya data dan fakta empirik diperlukan, di samping kata hati berdasarkan pandangan mata seharian, juga tidak bisa dibohongi.

Dalam hal ini, ulama dengan kesehariannya selalu mata, telinga mereka melihat dan mendengar ‘teriakan anak bangsa yang meratap’ dan sebaliknya, ‘sorak-sorai yang beruntung’ hidup di dunia. Mereka yang terlunta—lunta, jangankan menyekolahkan putera puterinya, untuk dikonsumsi saja ada seadanya, bahasa halus agar tidak mengatakan tidak ada. Pemandangan harian ulama ini yang menyintuh hati mereka untuk buka mulut , bicara lewat ceramah agama yang kadang-kadang menyeruak ke panggung pemerintah. Ketika keseruduk ke sesuatu yang sensitif, maka ruang pemerintah di satu pihak dan ruang publik di pihak lain memanas, apalagi ketika pro kontra dipanas-panasi. Jadilah ia membara.

Ulama, sesuai dengan predikatnya mempunyai tanggung jawab moral dalam menasehati ketimpangan yang tampak di masyarakat berdasarkan fatwa dan himbauan moral sebagai preventifnya. Karena ulama sampai hari ini masih inginnya preventif yang dikedepankan, ketimbang kuratif yang final dalam penyelesaian, akan tetapi belum tentu memuaskan bagi yang menekan apalagi yang tertekan.

III. Ulama Berpuisi
Jeritan hati, biasanya diutarakan dengan bermacam cara. Ulama menempuh jalan dakwah via ceramah, karena tujuan agama menuntut supaya ada yang berprofesi sebagai da’i.

ولتكن منكم أمة يدعون الي الخير تاءمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر… / agar ada diantaramu yang berprofesi sebagai da’i yang berceramah bagaimana umat ini berbuat baik dan menghindari keonaran dengan bijaksana atau dengan metoda ceramah yang soft, dan dengan diskusi yang saling menghormati sesuai tutunan Allah:

ادعوا الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن…/Ceramahilah orang-orang agar berpegang pada agama yang benar dengan metoda ‘hikmah’ atau dengan metoda ceramah yang mencerdaskan atau dengan metode diskusi yang sehat.

Nah, keluarnya ulama dari habitatnya, tentulah ada penyebabnya. Di kala taushiyahnya bertabrakan dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya bersebrangan dengan kenyataan, maka unjuk lidah dan lisannya via ceramah sudah tumpul dan palunya tidak berdentang lagi, ada diantara mereka naik panggung menghunjamkan ketajaman kata-kata yang penuh makna dan rasa yang ditujukan kepada siapa saja audiensnya, penguasa atau rakyat biasa.

Biasanya yang tersinggung adalah ‘raja’, karena ‘tongkatnya’ tersentuh dan diraba. Bukan rabaan biasa; tapi rabaan yang menyentuh pusaran dan pasarnya. Raja yang ‘arif akan menganggukan kepala, bila iya. Sebaliknya, ia tertawa geli karena nasehat itu bisa saja dari bawah, bukan dari orang yang di sekitarnya yang selalu memuja yang tiada hari tanpa sanjungan. Inilah pesan ikhlas dari surat al-Ikhlash:

والعصر….ان الانسان لفي خسر الا…..وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر dan di ayat lain dinyatakan agar berdakwah lebih elegan: وتواصوا بالمرحمة .

Dengan demikian, ulama berpuisi bukan mencari panggung baru dan keluar dari prinsip keulamaannya. Lebih tepat dikatakan sebagai memenuhi undangan Allah/agama melalui jeritan hati. Maka mereka kuak tabir yang penuh histeri dan misteri dengan puisi, agar penguasa dan rakyat secara bersama jangan hanya berteori. Tidak percaya, coba nikmati yang ini. Gus Mus dengan tema: “ ha ha hi hi” dan “negeri amplop”; ZMZ dengan tema: “sama di mata hukum”, Prof.MMD dengan tema “ tdk tumpul ke atas; tajam ke bawah”. Semuanya itu hanyalah contoh untuk diambil refleksitasnya sebagai pelajaran berharga.

IV. Siapa yang Budeg?
Sudah sebegitu rusakkah bangsa kita? Sulit menjawabnya untuk mengatakan iya atau tidak. Yang jelas banyak ulama yang turun gunung dengan memberikan puisinya yang puitis untuk tegur sapa ditujukan ke segala lapisan dan bagi semua kelas dan lini. Ukuran benar atau salah hanya sederhana saja. Bila mendengar puisi tersebut memerah wajahnya, tentulah ada tanda-tanda iya. Bila tidak, tentulah ada tanda-tanda tidak. Sekalipun banyak udang di balik batu; banyak orang berkepala batu, sindir Gus Mus, tidak mengherankan di dunia politik.

V. Kesimpulan
Ulama ya ulama sudah ada ukurannya. Da’i ya da’i sudah ada pula syarat subjek dan obyeknya.
Adanya ulama yang puitis bukanlah anak zaman baru. Dalam sejarah, ulama yang puitis telah ada sejak dulu. Ingatkah kita dengan nama populis sebagai berikut: Amir Hamzah, Abu Nuwas, Rabi’ah al-alawiyah, Musthafa Luthfi al-Mamfaluthi. Di negeri kita, Prof. DR. HAMKA adalah contoh yg mengkombinasikan dwi predikat, ulama dan sastrawan. Jangan lupa pula di abad yang lalu bahwa Ali Bin Thalib sendiri dengan karya monumetalnya : Nahju al-Balaghah yang belum tersaingi sampai sekarang, baik isi maupun puisinya telah mengantarkan Imam Besar Ali Bin Abi Thalib menjadi ulama besar sekaligus sastrawan agung. Allah a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *