OPINI  

Moderasi Beragama: Varian Baru dan Turunannya  (Sudah Final atau Masih Mencari-cari Model) 2

Oleh: Adrians Chaththab
(Mantan Manggala Nasional Guru Besar)

IV. Moderasi Dalam Beragama di Indonesia
Mengagamakan toleransi atau mentoleransikan agama. Pernyataan ini enak didengar telinga; akan tetapi bila ditelusuri secara mendalam, maka pendangkalan makna agama. Agama akan berada di bawah telapak kaki toleransi. Padahal sesungguhnya, agamalah yang memberii ruang terhadap adanya toleransi terhadap sesama, agar semua penganut agama menjaga posisinya masing-masing agar jangan sampai memasuki wilayah yang bukan wilayahnya. Apa lagi, sanagat tidak agamais dan intoletansi , bila hal-hal yang tersebut terakhir menjadi kenyataan.

Makanya kata pilihan yang bijak dari Allah, kemudian mendapat kata sepakat oleh manusia beragama yakni : يا ايها الكافرون ، لا اعبد ما تعبدون، ولا انتم عابدون ما اعبد، ولا انا عابد ما عبدتم، لكم دينكم ولي دين
Yang dideklarasiksn oleh para ahli teologi kata inti dan kunci dalam implementasi :” sepakat dalam perbedaan”. Adapun kata kedua dalam bermoderasi di tanah air Indonesia adalah bahwa tidak boleh menjerat dan memaksa orang lain masuk Islam dan sebaliknya. Karena wilyah agama adalah wilayah hati; bukan wilayah materi. Maka masuk dan menganut agama tertentu hanya karena sebungkus mie adalah ucapan klise yang merusak nilai agama dan anak bangsa.

Oleh sebab itu, Islam menandaskan لا اكره في الدين، قد تبين الرشد علي الغي t tidak ada kamus pemaksaan dalam beragama, sebab beragama itu domainya adalah “qalbun salim” yang dapat disentuh oleh hidayah. Dengan demikian, maka Pancasila sebagai dasar negara sebagai produk otak manusia dapat dijadikan pengikat pegangan, pandangan hidup berbangsa dan bernegara sesama anak bangsa; sementara agama ikatan batin umat kepada Tuhannya. Justeru, mengagamakan Pancasila lebih tepat daripada sebaliknya mempancadilakan agama. Hal itu jelas sekali arahnya, sebagai keberadaan Pancasila yang resmi tedapat dalam UUD 1945 bahwa sila-sila itu semuanya bermuara pada ikatan batin anak bangsa kepada Tuhannya. Untuk itu, NKRI yang bermoderasi dapat digambarkan srbagai berikut:

MODERASI BERAGAMA VERSI BARU: Toleransi: Anti kekerasan: NKRI:Cinta budaya Lokal

V. Mudhorat Moderasi yang Salah Kaprah
Pemahaman yang tidak bisa dimoderasi dan dibaharui adalah bahwa rakyat Indonesia sudah memeluk agama sebelum adanya negara Indonesia dan Pancasila. Sebelum Pancasila lahir, agama sudah menjadi tata aturan atau way of life rakyat di kesultanan-kesultanan atau kerajaan yang bertebaran di wilayah nusantara ketika itu. Setelah Indonesia mardeka, mska disusunlah negara yang merdeka itu berdasarkan Pancasila sebaga dasari ideologis dan UUD 1945 sebagai landasasan kontitusional. Dengan demikian, sampai hari ini di samping sudah final sebagai dasar negara, kedua landasan negara ini sudah teruji selaa 76 tahun mardeka. Memang ada upaya segelintr oknum untuk menggantinya dengan ideologi lain, akan tetapi tetap saja gagal.Itu bisa diartikan bahwa Pancasila dan UUD 1945 terbukti dapat merajut NKRI dengan baik.

Oleh sebab itu, mancari-cari ideologi lain adalah pekerjaan yang memberi mudhorat dalam membina dan memelihara wujudnya NKRI. Sekali lagi, Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan idiil dan konstitusional sudah final.

Baik ruh yang terdapat dalam UUD ’45 tersasa sekali diinspirasi oleh nilai agama, seperti pemkaian kata: “ atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa…” dll. Begitu juga dengan sila pertama yang berbunyi: “ ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan ruh agama betul-betul lekat, pekat menempel kuat pada kedua ideologi itu yang tidak mudah memisahkannya, untuk tidak mengatakan mustahil sepanjang bangsa Indonesia masih mengamalkan agamanya atau belum sekular. Lain halnya, bila diganti dengan “ ketuhanan yang berkebudayaan”, maka kurus-keringlah ruh dan nilai agamanya. Justeru, kehadiran agama di samping Pancasia dan sebaliknya memperkokoh keduanya dari hantaman sekularisme dan tidak tertutup kemungkinan dari sosialisme, komumisme dan atheisme. Pemikiran seperti ini bisa dibuktikan ketika bangsa Indonesia masih gigih mengatakan NKRI harga mati. Bila terjadi lagi di nagara ini oknum yang mengacak-acak dasar negara dengan bersebunyi di balik kata” penyelamatan”, berati memisahkan umat beragama dengan Pancasila dan itu adalah mudhorat bukan manfa’at, apalagi kalau di sandingkan dengan bangsa-bangsa maju di dunia, bukan lagi pada the third wave tapi jauh melangkah dari itu yakni fourth and fifeth wave. Membicarakan dasar negara yang sudah final sama halnya kembali ke ‘zaman jahiliyah’.

VI. Hendak ke mana NKRI yang Majemuk ini dibawa Penguasa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) adalah harga mati dan Pancasila & UUD 1945 adalah harga final. Agama yang dianut oleh penyandang NKRI adalah multi adat, budaya dan multi etnis serta multi bahasa. Makanya, founding father bangsa ini telah mengkajinya dengan matang, termasuk efek negatif dan positifnya bila agama, Pancasila dan UUD ’45 dipreteli di negara kesatuan republik Indonesia ini yang berbeda dengan negara yang agama penduduknya satu, rasnya juga satu dan budayanya juga satu, tidak akan serumit masalah kenegaraan di Indonesia.

Dari kenyataan tersebut di atas dapat dikatakan — tanpa mengecilkan arti ijtihad oknum-oknum sekarang – bahwa gagasan dan pelaksanaan kenegaraan bagi masyarakat yang majemuk di segala sisi dan posisi dan telah pula teruji selama 76 tahun proklamasi, maka Pancasila, UUD’45 , moderasi beragama telah selesai., hanya yang diperlukan adalah pembinaan, pengarahan pelaksanaan agar jangan lari dari relnya.

VII. Jalan Keluar yang Soft.
Pancasila yang diperas menjadi ‘ekasila’ : ketuhanan yang berkebudayaan, bila dijadikan alat moderasi, alat toleransi dan alat kerukunan akan banyak benturan di sana sini di tengah masyarakat agamais. Seharusnya melihat kenyataan sejarah bangsa Indonesia dan melihat susana kebatinan rakyat Indonesia bahwa Pancasila adalah berbasis agama. Hal itu dapat dilacak dan dibaca serta direnungkan dengan cerdas — jangan diacak-acak — tentang Pancasila yang ada pada Pembukaan UUD’45: 1) negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa; 2) sila-sila yang terdapat dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahhkan; bahkan lebih dari itu dapat disarikan bahwa ada 5 sila dan sila ke 5 itu mengkait dengan sila 4; sila 4 terkait erat dengan sila 3 dan sila 2 berbasis pada sila 1. Bila diciptakan konsep baru tentang moderasi yang diharapkan dapat merajut keutuhan NKRI, belum teruji; baru sebatas “mimpi” parsial sebahagian anak bangsa yang tidak ikut sebagai founding father negara ini.

Pemahaman moderasi beragama dengan 4 indikator tersebut di atas akan menciderai wilyah-wilayah sakral agama yang tidak boleh disentuh oleh toleransi yang bakal menjauhkan umat beragama dari kerukunan karena modetasi itu bukan berarti matemacal mean ( baca: dibagi 2 sama besar).

Oleh sebab itu, kalau menciptakan yang baru yang meresahkan, akan lebih baik kembali kepada yang lama yang sudah teruji. Mungkin hal ini sama kasusnya “ dengan kembali ke UUD 1945”. Artinya dalam hal moderasi, kembali saja ke moderasi yang dicetuskan Prof.HAMKA, dalam soal toleransi, implementasikan saja atau kembalikan saja kepada apa yang sudah digagas voleh Prof.Mukti Ali dan Dr.Steenbrink. dan dalam soal kerukunan, kembali saja ke tri kerukunan yang diejawantahkan oleh mantan Menteri Agama Letjen ( Purn.) Alamsyah Ratupetwiranegara. Dalam soal Pancasila, sebaiknya kemabali ke Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945 ditambah dengan uraian Pncasila yang pada masa orde baru dengan tokoh Sarwo Edi , Oetoyo Usman dan Dr.Alfian dengan P-4nya sekalian. Sebab, masalah dasar negara sudah final dan selesai. Tidak ada bangsa di dunia ini dengan umur kemedekaann 76 tahun masih berkutat tentang benar-tidaknya dasar negara. Sekarang, kata John Nisbitt sudah the third wave. Lebih dari itu, fokus dunia millenial adalah menghadapi tututan 4. (Four thero point) dan 5. ( five thero point). Alangkah akan tercecernya bangsa ini, kalau masih menfutak-atik yang sudah final berarti kembali ke ‘Jahiliyah’ lagi.

VII. Kesimpulan
Moderasi, toleransi dan kerukunan dalam wilayah NKRI sangat mungkin dilaksanakan sepanjang tidak menabrak hal-hal yang bersifat akidah dan ibadah yang sudah given, tidak bisa dikompromikan , kecuali masing-masing umat beragama melaksanakan apa adanya: لكم دينكم ولي دين tanpa menghina dan merendahkan satu sama lain.
Allahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *