HKTI Jambi Menilai Kebijakan Penetapan Harga Jual Buah Sawit oleh Pemprov Jambi Perlu Devaluasi

Jambi I Kabardaerah.com — Kebijkan penetapan harga jual tandan buah segar (TBS), karnel, dan CPO pabrik kelapa sawit (PKS) yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi Jambi untuk periode 26 Januari hingga 2 Pebruari 2018 di Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, dinilai masih belum layak.

Demikian diungkapkan Diawan Dani, Sekretaris Dewan Pimpinan HKTI Provinsi Jambi kepada sejumlah media, Senin (29/1/2018).

Menurutnya, penetapan harga TBS tersebut selayaknya dilakukan evaluasi kembali. “Dasar hukum penetapan harga sebaiknya tidak mengacu berdasarkan harga penjualan ke pabrik dengan invoice yang belum diyakini ke keabsahannya. Apalagi mengacu kepada invoice penjualan dari PKS dengan harga terendah,” katanya.

Baginya, pemerintah harus memahami dan menyadari bahwa terdapat perbedaan harga penjualan, ada nilai jual dengan nilai harga tertinggi.

Dia menambahkan, ada yang menjual dengan harga terendah, yaitu sampai dengan harga bisa berada di ring lebih kurang Rp500. Jika dibagikan keangka pembagi, ringnya sangat jauh harapannya.

“Oleh karena itu, Dia meminta perlu adanya kebijakan penyeragaman pada nilai rendeman sebagai acuan pentuan ring harga jual PKS.

“Jangan sampai PKS yang menjual dengan randeman dibawah standar dijadikan angka acuan pembagi sehingga menjadi landasan hukum penurun harga sawit dipasaran,” ujar Dani.

Dari data yang diperoleh, penentuan harga TBS yang telah ditetapkan dengan periode jual 26 Januari hingga 2 Pebruari 2018 di Provinsi Jambi ada beberapa kriteria.

Diantaranya, dengan skala umur 3 tahun Rp1.342,22, 4 tahun Rp1.438,44, 5 tahun Rp1.505,21, 6 tahun Rp1.566,74, 7 tahun Rp1.606,21

Selanjutnya, umur 8 tahun Rp1.640,84, 9 tahun Rp1.772,85, umur 10-20 tahun Rp1.725,99, 21-24 tahun Rp1.675,15, 25 tahun Rp1.600,30.

Sedangkan untuk harga CPO Rp7.252,94 dan karnel Rp6.571,60 dengan besaran indeks ‘K’ : 89%.

“Ini dinilai sangat merugikan petani serta bisa sangat menguntungkan pabrik dan para tengkulak sawit,” tandasnya.

Dengan adanya penetapan harga TBS yang dinilai tidak layak, HKTI Provinsi Jambi menyarankan sebaiknya dalam menentukan harga jual ditingkat petani pemerintah seharusnya tidak hanya beracuan kepada invoice yang diajukan kepada pabrik saja yang belum tentu keabsahannya.

Tetapi, menurut Dani, pemerintah juga harus memperhatikan Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/OT.140/2/2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.

“Permentan tersebut dibuat dengan pertimbangan untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga yang wajar dari TBS kelapa sawit produksi pekebun serta untuk menghindari adanya persaingan tidak sehat diantara pabrik kelapa sawit,” imbuhnya.

Dani juga menyarankan, sebaiknya semua pihak menyadari bahwa penentuan harga sawit ditingkat pekebun harus memperhitungkan juga harga rata-tata ditingkat pekebun.

Pasalnya, bukan hanya berdasarkan invoice perusahaan yang belum terbukti kebenaran invoice, penentuan harga juga seharusnya juga beracuan kepada pasal 5 pada poin 5 permentan tersebut.

Dalam pasal itu disebutkan, bahwa harga pembelian TBS oleh perusahaan harus ditetapkan minimal satu kali setiap bulan berdasarkan harga riil rata-rata tertimbang minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit sesuai realisasi  penjualan ekspor POB dan lokal dari masing-masing perusahaan.

Dani berharap, dengan kesadaran dari semua pihak tentang pentingnya penerapan permentan tersebut terkait perhitungan harga riil dari nilai yang disesuaikan dengan nilai eksport dan nilai penjualan masing-masing perusahaan ditingkat lokal.

“Dengan kesadaran semua pihak. diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan pekebun kelapa sawit serta bisa menghindari persaingan tidak sehat antara pekebun kelapa sawit dalam rangka menjaga stabilitas keadilan dalam penentuan harga jual buah sawit ditingkat pekebun,” tutur Dani. (budi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *