Potret Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas

Oleh: Abd Haris, S.Ag, Anggota Panwascam Mendahara ulu, Kabupaten Tanjungjabung Timur, Jambi

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai wahana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang dihasilkan dari pemilu diharapkan menjadi pemerintahan yang mendapat legitimasi yang kuat dan amanah. Pemilu pun menjadi tonggak tegaknya demokrasi, di mana rakyat secara langsung terlibat aktif dalam menentukan arah dan kebijakan politik negara untuk lima tahun ke depan

Potret partisipasi dalam pemilu tentu harus total dalam setiap rangkaian proses pemilu itu sendiri. Tidak bisa ditolerir jika partisipasi pemilu hanya aktif pada fase-fase tertentu saja, misalnya: partisipasi hanya ada pada saat di bilik suara atau TPS (tempat pemungutan suara) saja. Partisipasi yang ideal merupakan proses yang kontinyu, sedangkan proses pemilu pun mencakup tahap awal, saat, dan akhir pemilu.

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh agar masyarakat dapat berartisipasi dengan massif dalam pemilu tahun 2019 nanti.

Misalnya adalah: Pertama, seyogyanya peranan pemerintah daerah harus lebih optimal lagi dalam meningkatkan partisipasi pada pilkada serentak 2019 ini. Secara matematis, angka partisipasi yang baik adalah 77,50% ke atas. Sebab bagaimanapun juga, tingginya angka golput pada setiap kegiatan pemilu menjadi indikator apatisnya masyarakat atas kandidat-kandidat yang ditawarkan sebagai calon pemimpin daerah oleh partai politik yang ada. Kedua, pemerintah juga dirasakan perlu untuk melakukan sosialisasi secara massif.

Cara yang dapat ditempuh ada banyak sekali. Pemerintah secara konvensional bisa melibatkan media. Baik itu media cetak, seperti koran, pamflet, sticker, majalah, brosur, dan lain sebagainya. Juga media audio, seperti: radio. Dalam hal ini, bisa mengandalkan RRI Jambi, serta beragam radio swasta lainnya juga perlu dilibatkan dalam proses sosialisasi ini. Dan yang paling penting, yaitu media audio-visual, seperti: televisi lokal yang ada di Provinsi Jambi (Jambi TV, Jek TV, dan lain sebagainya). Kemudian, ada satu lagi media yang juga efisien dalam proses sosialisasi ini, yaitu media online. Apalagi saat ini di era globalisasi, media online memainkan peranan yang besar dalam setiap mekanisme sosialisasi. Pemerintah harus peka dalam memanfaatkan media online dalam proses sosialisasi ini.

Ketiga, pemerintah juga perlu untuk mengeluarkan kebijakan menentukan hari libur nasional, agar seluruh masyarakat yang sudah memiliki hak memilih dapat menjalankan hak-hak konstiusinya dalam memilih calon politik yang dipihnya. Hal ini memang tampak sederhana, akan tetapi pengalaman selama ini membuktikan bahwa PNS atau ASN (Aparatur Sipil Negara) cenderung malas untuk keluar pada jam kantor hanya sekedar untuk menggunakan hak pilihnya. Asumsi yang muncul adalah: jika tidak ada kepastian hari libur yang pasti, maka dapat dikatakan bahwa partisipasi golput khususnya dari kalangan PNS tersebut akan sangat besar. Jadi peliburan nasional terkait pemilu ini perlu diperhatikan dan dipersiapkan dengan matang.

Untuk itu pemberdayaan politik seharusnya diimplementasikan dalam tiap tahap tersebut, bahkan mulaipra, saat, dan pasca proses pemilu secara berkelanjutan. Pada tahap pra pemilu ada momentum penting, yaitu penyusunan peraturan perundangan. Dalam proses penyusunan tersebut pelibatan masyarakat seharusnya dilakukan, baik dengan pelibatan unsur parpol, LSM, partisipasi daerah, maupun kegiatan lain yang bersifat terbuka bagi partisipasi publik.

Mengapa hal ini perlu melibatkan berbagai pihak? Karena evaluasi atas berbagai macam kendala-kendala pemilu tentu dialami oleh berbagai unsur. Maka dari itu, kegiatan semacam workshop perlu dilakukan secara teratur agar ditemukan solusi atas kelemahan-kelemahan partisipasi masyarakat dalam tingkat pra pemilu ini.

Sebenarnya, partispasi pra pemilu juga dapat dilakukan secara informan. Maksudnya, di masyarakat pun perlu di buka ruang partisipasinya untuk dapat mengatur lingkungannya sendiri sesusai kebutuhan spesifiknya, seperti telah adanya kesepakatan lokal tingkat dusun bahkan RT di beberapa daerah di Jambi yang melarang pengibaran bendera parpol secara individual selama pemilu atau penggunaan atribut partai dalam acara tertentu semisal ketika di tempat ibadah, dan sebagainya perlu mendapat support. Dalam konteks ini, kesadaran masyarakat akan kebernaian dalam mengemukana pendapat berupa pengaduan-pengaduan terhadap keganjilan dalam proses pra pemilu juga sangat diharapkan. Koordinasi yang baik, tentu akan menghasilkan partisipasi pemilu yang baik dan hasil pemilu yang baik pula.

Memasuki proses awal pemilu ada serangkaian momentum yang mewarnainya dan kembali masyarakat dapat diberdayakan peran politiknya, seperti proses verifikasi parpol peserta pemilu dimana masyarakat dapat memberikan pengawasan sehingga dapat terjadi proses yang ”bersih”. Selanjutnya, pencalonan anggota DPD dimana masyarakat memiliki hak dipilih secara perseorangan, pencaloan calon anggota legislatif yang lebih ditujukan bagi partai politik untuk dapat menjaring secara desentralisasi dan fair play. Kemudian pelaksanaan kampanye yang diharapkan masyarakat dapat mengaksesnya secara adil tanpa tekanan dan “iming-iming” dari parpol, serta pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pelibatan masyarakat untuk mengawasi proses awal pemilu ini.

Pada tahapan awal pemilu ini, kita tentu tidak ingin dinodai dengan money politic. Hal ini sangat jelas mencederai partisipasi politik yang santun dan bersih. Oleh sebab itu, hal ini perlu kesadaran dari berbagai pihak dan penegakan hukum yang adil dan tegas.

Berikutnya pada tahap pelaksanaan pemungutan suara, akan lebih terlihat tingkat keikutsertaan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sisi kualitas dapat ditekankan bagaimana agar terjadi fair play dari parpol sehingga masyarakat benar-benar memilih bebas sesuai aspirasinya. Masyarakat juga dapat diberdayakan untuk mengawasi jalannya pemungutan suara sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi panitia pelaksana pemilu serta melakukan pengamaman sendiri di tingkat masyarakat. Setelah itu memasuki tahap akhir pemilu, yaitu penghitungan dan penilaian hasil pemilu secara makro, peran masyarakat juga lebih pada pengawasan dan pelibatannya dalam evaluai pemilu setempat. Masa selanjutnya pasca pemilu adalah penyelenggaraan pemerintahan, disini masyarakat tentunya juga dapat diberdayakan secara kontinu dan dinamis, sehingga mampu mengontrol, memantau, dan memberi kontribusi bagi kinerja “pemenang pemilu” baik parpol maupun perseorangan. Pemberdayaan ini sulit dapat dioptimalkan tanpa adanya perangkat fasilitas secara sistematis dan mekanisme yang memadai serta kesadaran pemerintah dan pihak partai politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *