Quo Vadis Penyalahguna Narkotika Penjara atau Rehabilitasi

Oleh Dr Anang Iskandar
Ka BNN 2012 – 2015,
Kabareskrim 2015 – 2016
Dosen Trisakti

Memvonis penjara bagi penyalahguna kecanduan seperti jedun dan jedun-jedun lainnya sama dengan menghancurkan masa depan anak bangsa.

Kok begitu? Ya… karena mayoritas hakim-hakim dalam proses mengadili terdakwa penyalahgunaan narkotika tidak memahami atau tidak baca kekhususan UU Narkotika, mereka menggunakan sistem peradilan pidana sebagai main stream yang dibangun di republik ini. Tidak tahu atau tidak baca kalau ada sistem peradilan rehabilitasi yang dianut oleh UU Narkotika khusus bila hakim menangani perkara penyalahgunaan narkotika.

Hal ini karena penyalahguna itu adalah orang sakit yang dikriminalkan oleh UU (pasal 127). Penyalahguna ini lambat laun berproses menjadi pecandu, pecandu ini harus alias wajib direhabilitasi (lihat pasal 54).

Penyalahguna itu kriminal yang secara alami bermetamorfose menjadi pecandu, demikian pula pemidanaannya bermetamorfose dari hukuman penjara menjadi hukuman rehabilitasi yang bermakna menyembuhkan penyakit adiksi yang diderita penyalahguna narkotika (lihat pasal 103 ayat 2)

Unsur penyalahguna dan pengedar itu ada persamaannya, yaitu tentang kepemilikan narkotika makanya banyak yang menganggap bahwa penyalahguna itu sama jahatnya dengan pengedar. Padahal berbeda jauh. Kalau penyalahguna itu korban kejahatan narkotika (menurut  criminologi) namun oleh UU dikriminalkan dan diancam dengan hukuman ringan (dibawah 5 tahun),  artinya tidak memenuhi sarat untuk ditahan berdasarkan pasal 21 KUHAP. Sedangkan pengedar penjahat sesungguhnya dan diancam dengan pidana berat, sah apabila dilakukan penahanan.

Jumlah kepemilikan narkotika sebagai barang bukti menjadi pembeda antara penyalahguna dan pengedar. Kalau jumlah narkotika yang dimiliki sedikit untuk pemakaian sehari, itu diindikasikan sebagai penyalahguna, kalau jumlah narkotika ketika ditangkap jumlahnya banyak melebihi pemakaian sehari ini mengindikasikan sebagai pengedar.

Secara sosiologis ternyata ada penyalahguna yang merangkap sebagai pengecer dengan paket hemat, kalau bisa dibuktikan sebagai pengecer paket hemat maka hakim boleh saja memvonis penjara, tapi kalau barang buktinya sedikit hanya untuk pemakaian sehari maka hukuman rehabilitasi lebih tepat sebagai premium remedium karena UU narkotika sendiri menyatakan dengan jelas hukuman rehabilitasi = hukuman penjara.

Hakim dalam mengadili perkara narkotika dapat menggali keterangan dari terdakwa dengan pertanyaan : Untuk apa barang bukti yang dimiliki tersebut? Kalau tujuan kepemilikan untuk dikonsumsi maka dapat dipastikan yang diadili itu adalah perkara pecandu. Hakim hukumnya wajib memvonis hukuman rehabilitasi bila terbukti salah, menjatuhkan keputusan berupa rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah (pasal 103)

Intinya penyalahguna itu criminal sekaligus penyandang penyakit ketergantungan narkotika, penegak hukum khususnya hakim
mestinya tahu tujuan dibuatnya UU Narkotika yang termaktub dalam  pasal 4, dimana secara jelas dinyatakan bahwa penyalahguna itu dilindungi dan diselamatkan serta dijamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosialnya.

Ini menjadi pertanyaan masyarakat yang tidak memahami kekhususan UU narkotika, kok ada ya disatu sisi seorang kriminal yang diancam hukuman pidana maksimal 4 tahun disisi lain harus dilindungi dan diselamatkan serta dijamin direhabilitasi?

Kok enak? Kriminal dihukum rehabilitasi, ganti saja UU-nya. Itu lah yang menjadi kendala kenapa UU Narkotika implementasinya melenceng berlangsung agak lama sehingga penyalahgunanya berakhir di penjara. #stopvonispenjara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *