New Normal Itu Bukan Era, Tapi Budaya

Oleh: Bahren Nurdin

Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (PUSAKADEMIA)

Saya hanya ingin menegaskan bahwa kedatangan virus Korona atau yang lebih dikenal dengan Covid-19 bukan menjadi penanda era tapi menggeser budaya hidup masyarakat, tidak hanya bangsa Indonesia tapi dunia. Hebatnya, seluruh orang di dunia diyakini akan memiliki budaya hidup yang sama. Masker!

Untuk membentuk suatu budaya ‘baru’ paling tidak diperlukan tiga tahapan penting; penegakan disiplin, pembentukan kesadaran, dan penerapan budaya baru. Budaya New Normal.

*PEMBENTUKAN DISIPLIN*
Pada tahapan ini masyarakat ada pada level ‘kaget’. Ada perubahan kebiasaan dalam hidup mereka. Dalam konteks ‘berdamai’ dengan Covid 19 ini, masyarakat mengalami perubahan pola hidup dengan mengikuti protocol kesehatan secara ketat yaitu mamakai masker, cuci tangan dengan air mengalir sesering mungkin, dan mengkuti larangan berkumpul atau mengunjungi tempat-tempat keramaian.

Tentu saja bagi masyarakat Indonesia hal ini bukan suatu yang mudah dengan sosial kemasyarakatan yang terbentuk selama ini. Masyarakat Indonesia itu terkenal dengan gotong royong. Semua dikerjakan bersama-sama. Minimal makan bersama!

Kebisaan ini sudah harus bergeser. Khususnya di dalam penerapan ‘New Normal’ saat ini, tempat-tempat makan tidak lagi diperbolehkan untuk melayani konsumennya sebanyak yang mereka mau. Sudah harus ada pembatasan dan pengaturan tempat duduk. Semua diatur dan diawasi.

Karena tidak mudah maka, pada level ini diperlukan aturan hukum dan penegakan disiplin. Pihak pemerintah tentunya harus menyediakan payung hukum yang tegas sehingga ada ‘shock therapy’ bagi msayarakat. Penegakan disiplin seperti pemberian sanksi denda sudah harus diterapkan dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan.

Sebaiknya, karena tujuannya adalah sebagai ‘shock therapy’, denda yang diterapkan tidak boleh kecil. Harus diluar kemampuan masyarakat sehingga mereka akan menghindari denda tersebut. Contoh, denda bagi yang tidak memakai masker sebesar satu juta rupiah. Pilih mana, pakai masker atau didenda? Pasti bagaimana pun caranya masyarakat akan memakai masker.

Saya tegaskan, denda itu tujuannya untuk membuat masyarakat tertib bukan menjadi sumber pendapatan pemerintah!

Jangan mencari duit dari kantong rakyat!

Maka dari itu, penting sekali sosialisasi dan edukasi sebelum sanksi diterapkan. Jangan ‘ujuk’-’ujuk’. Sosialisasi pun tidak boleh tergesa-gesa. Mendidik masyarakat itu butuh waktu, strategi dan pengorbanan.

Tujuan sosialisasi itu harus memahamkan masyarakat tentang pentingnya malakukan apa yang diperintahkan. Artinya, sampai masyarakat betul-betul faham dan memiliki alasan mengapa itu penting bagi mereka. Jadi yang melanggar itu cuma dua golongan; khilaf (lupa dan tidak sengaja) dan ‘bengak’ (sengaja melanggar aturan). Golongan yang ke dua ini boleh ‘dihajar’ agar tertib!

*PEMBENTUKAN KESADARAN*
Jika sosialisasi sudah dimaksimalkan dan penegakan disiplin sudah sesuai aturan, maka yakinlah dengan senidirinya akan terbentuk kesadaran di tengah masyarakat. Artinya, dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki akan datang dari diri mereka sendiri sebuah keinginan untuk melakukannya.

Pada level ini masyarakat memakai masker bukan lagi karena takut didenda tapi mereka tahu persis bahwa masker itu adalah salah satu cara dan usaha untuk melindungi dirinya dan diri orang lain dari penyebaran virus yang sedang menyerang.

Ada atau tidak ada petugas, dia tetap memakai masker di tempat-tempat yang telah diwajibkan menggunakannya. Dirinyalah yang menjadi petugas. Dia akan mengingatkan dirinya sendiri dengan kesadaran penuh. Bahkan, jika kesadarannya semakin tinggi, dia telah pula berusaha mengingatkan orang lain, khususnya yang ada diseputaran atau lingkungannya sendiri.

*PEMBUDAYAAN*
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pembudayaan itu sebagai ‘proses dari segala sosial budaya menjadi suatu adat atau pranata yang mantap’. Itulah kemudian yang menjadi budaya sehingga menjelma sebagai ‘kebiasaan yang sudah sukar diubah’.

Gampangnya begini, suatu pranata sosial yang dilakukan secara bersama-sama (atas kesepakatan bersama) sehingga menjadi anomaly jika ada yang tidak sama. Jika ada orang yang tidak melakukan hal yang sama akan dianggap ‘aneh’ karena ia menjadi ‘pembangkang’ adat yang telah ditetapkan berasama.

Pada konteks ‘New Normal’, ia akan menjadi ‘Budaya baru’ ketika semua orang dengan penuh kesadaran melaksanakan protocol kesehatan (masker, cuci tangan, tidak berkumpul). Akan aneh rasanya jika di jalan melihat orang tidak menggunakan masker.

Jika ‘keanehan’ ini sudah muncul di benak setiap masyarakat, maka itulah penanda budaya telah berlaku.

Tapi ingat, untuk mencapai pembentukan budaya itu lagi-lagi butuh waktu. Untuk membentuk kebiasaan saja menurut University College London, dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Kita semua butuh proses!

Akhirnya, ‘New Normal’ bukan penanda zaman tapi perubahan budaya. Kita sedang berproses dalam pembentukan budaya baru. Berproseslah dengan baik sehingga budaya baru ini juga akan mendatangkan kebaikan. Berdisiplin, berkesadaran dan berbudaya. Semoga.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *